Pun, sambil tetap menjaga fleksibilitas dalam rubrik dan kriteria penilaian yang manusiawi.
BACA JUGA:80 Tahun Merdeka, Quo Vadis Pendidikan Nasional?
4. Menjadikan Revisi Sebagai Prioritas
ChatGPT memungkinkan siswa untuk memulai dari draft dasar dan melakukan iterasi perbaikan secara bertahap. Baik melalui diskusi ide, perbaikan struktur paragraf, maupun perumusan kalimat.
Jika seluruh kelas menerapkan revisi kolaboratif semacam itu, siswa tidak hanya belajar menulis. Tetapi juga belajar mengedit, mensintesis ide, dan menjadikan proses revisi sebagai bagian integral dalam menulis.
Karena menurut riset dari Learning Scientists (2023), proses revisi dapat meningkatkan kualitas tulisan hingga 40 persen.
BACA JUGA:DeepSeek vs ChatGPT, Adu Kelebihan dan Kekurangan
Ilustrasi melakukan revisi tulisan menggunakan bantuan AI-Freepik-
5. Memperkuat Keterampilan Berpikir Kritis
Berpikir kritis mencakup kemampuan meneliti, membedakan fakta dan opini, serta menyusun informasi secara sistematis.
Berdasarkan laporan World Economic Forum (2025), kemampuan berpikir kritis menjadi salah satu dari lima keterampilan utama yang sangat dibutuhkan pada abad ke-21.
ChatGPT dapat menjadi mitra diskusi yang memicu refleksi. Misalnya dalam analisis berita hoaks, pembahasan isu-isu filosofis, maupun simulasi debat.
BACA JUGA:5 Alasan Utama Gen Z Mengandalkan ChatGPT untuk Curhat
Dengan arah yang tepat dari guru, siswa akan memahami bahwa AI bukanlah penentu jawaban. Melainkan pemicu pertanyaan lebih lanjut yang mendalam.
ChatGPT bukanlah ancaman. Tetapi jembatan menuju pendekatan pembelajaran yang lebih adaptif dan relevan.
Dengan dukungan data, Anda dapat memanfaatkannya untuk memfasilitasi keterampilan menulis, revisi, dan berpikir kritis yang sejati.
BACA JUGA:Cara Pakai ChatGPT Biar Produktivitas Meningkat (Tanpa Overreliance)
Alih-alih menghindari penggunaan AI karena kekhawatiran plagiarisme, pendidik seharusnya menyikapi teknologi itu sebagai mitra inovatif. (*)