Demonstrasi: Bahasa Politik yang Gagal Dipahami

Kamis 28-08-2025,06:33 WIB
Oleh: Suko Widodo*

”Tanah milik bumi, air milik langit, siapa bisa punya?” kata-kata Samin Surosentiko menjadi perlawanan simbolis yang membingungkan sekaligus menohok kekuasaan.

Dan, dari seberang laut, Eduard Douwes Dekker –Multatuli– menuliskan Max Havelaar (1860). Dengan getir ia menulis, ”Aku ingin dibaca. Aku akan dibaca. Aku harus dibaca.” 

Kalimat itu bukan sekadar ambisi pribadi, melainkan juga teriakan moral yang menyingkap penderitaan rakyat Jawa akibat tanam paksa. Novel itu mengguncang parlemen Belanda, membuktikan bahwa demonstrasi tak selalu berupa teriakan di jalan, tetapi bisa lahir dari teks yang mengguncang nurani.

Semua kisah itu memperlihatkan hal yang sama: ketika komunikasi formal buntu, rakyat menemukan jalannya sendiri. Entah dengan duduk diam di alun-alun, bahasa satire yang membangkang, atau tulisan yang menampar kekuasaan.

JALAN MENEMBUS KOMUNIKASI YANG MACET

Demokrasi, kata Abraham Lincoln, adalah ”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Maka, komunikasi politik semestinya dua arah: rakyat bicara, negara mendengar. Faktanya, yang terjadi justru monolog kekuasaan berhadapan dengan teriakan massa.

Habermas menyebut komunikasi ideal harus setara dan bebas dominasi. Dalam konteks demonstrasi, artinya, pemerintah wajib membuka ruang negosiasi, sedangkan rakyat harus mengartikulasikan tuntutannya secara rasional. 

Namun, seperti kisah ”pepe”, Samin, dan Multatuli, negara kerap memilih tak mendengar hingga suara rakyat menjelma simbol yang lebih keras daripada kata-kata.

Bahasa politik rakyat tidak harus gagal dipahami. Ia bisa menjadi energi positif jika komunikasi dibangun secara sehat. Ada beberapa jalan tengah.

Pertama, komunikasi partisipatif. Paulo Freire menegaskan pentingnya dialog horizontal. Pemerintah seharusnya membuka ruang dengar sejak sebelum kebijakan ditetapkan, bukan setelah protes meledak.

Kedua, transparansi informasi. Demokrasi mensyaratkan keterbukaan agar rakyat tidak perlu menjerit hanya untuk tahu. Keterbukaan akan mengurangi kecurigaan, sekaligus mencegah rumor yang memicu konflik.

Ketiga, mediasi independen. Kampus, tokoh masyarakat, atau media bisa menjadi fasilitator komunikasi. Dulu rakyat ”pepe” menjadikan keraton sebagai panggung. Kini kita membutuhkan ruang mediasi modern agar aspirasi tak lagi terhenti di jalan raya.

Keempat, etika komunikasi politik. James Grunig dan Todd Hunt (1984) mengingatkan model komunikasi ideal adalah two-way symmetrical communication: timbal balik yang berimbang, berorientasi pada kesepahaman, bukan kemenangan salah satu pihak. Itulah arah yang harus dituju demokrasi kita.

DARI JALAN KE RUANG DIGITAL

Di era digital, demonstrasi menemukan bentuk baru. Media sosial menjelma jalan raya virtual tempat rakyat bersuara. Tagar di Twitter bisa lebih cepat mendesak perubahan jika dibandingkan dengan aksi fisik. 

Petisi online, video viral, atau citizen journalism menjadi demonstrasi gaya baru. Namun, tantangannya tetap sama: apakah negara mau mendengar?

Kategori :