Sejarah mengingatkan kita: rakyat ”pepe” di keraton, orang Samin di Blora, dan Multatuli lewat Max Havelaar sama-sama menyampaikan protes dengan bahasa berbeda. Semua menunjukkan satu hal: suara rakyat, meski sederhana, tak bisa diabaikan.
Demonstrasi adalah bahasa politik rakyat. Namun, bahasa itu sering gagal dipahami karena negara memilih menutup telinga. Akibatnya, teriakan di jalan hanya menjadi kebisingan tanpa penyelesaian.
Jika kita ingin demokrasi tumbuh dewasa, komunikasi politik harus berubah. Rakyat berbicara dengan data dan solusi, negara mendengar dengan hati dan akal. Komunikasi –baik di jalan, di ruang mediasi, maupun di ruang digital– adalah kunci bagi demokrasi yang hidup.
Tanpa komunikasi, demonstrasi hanya akan jadi gema kosong. Dengan komunikasi yang tulus, ia bisa menjadi energi konstruktif bagi perubahan. (*)
*) Suko Widodo adalah Dosen Departemen Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga.