Mengenang Suparto Brata, Sastrawan dan Sejarawan

Jumat 12-09-2025,23:18 WIB
Oleh: Sarkawi B. Husain*

Ia masih membawa ideologi priayi yang mengagungkan keunggulan priayi sehingga tokoh-tokoh nonpriayi yang ia ceritakan selalu kurang sempurna jika tidak mendapat ”dukungan” priayi. 

Dengan kata lain, selalu ada hambatan bagi nonpriayi untuk berkembang. Hambatan itu tidak hanya datang dari diri individu tokoh-tokohnya, tetapi juga karena faktor eksternal seperti situasi politik, sosial, atau ekonomi (Untoro, 2015).

***

Bagi saya, Suparto Brata bukan hanya seorang sastrawan, melainkan juga seorang saksi hidup perjalanan sejarah Kota Surabaya. Saya beruntung kenal dekat dengan beliau. Tidak jarang saat berkunjung ke rumahnya, entah untuk wawancara atau sekadar bersilaturahmi, ia mengajak ke ruang kerja sekaligus ruang tidurnya. 

Di ruang itulah ia menghasilkan beberapa karya tidak melulu tentang sastra (novel dan cerita pendek), tetapi juga tentang sejarah Kota Surabaya. Ia bahkan menjadi wakil sekretaris dari Tim  Penyusun Buku Hari Jadi Kota Surabaya yang dibentuk tahun 1975. 

Dalam tim itu, ia tidak hanya menangani masalah yang berkaitan dengan persoalan administrasi, tetapi juga mengumpulkan bahan seperti foto, peta, dan dokumen lainnya. 

Posisinya sebagai salah seorang staf yang bertugas di Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemerintah Kota Surabaya memudahkannya mengumpulkan sumber sejarah, menuliskannya, dan mendiseminasikannya melalui majalah resmi pemkot, Gapura, yang dikelolanya. 

Oleh karena itu, sebagai saksi dari tiga zaman, yakni kolonial, pendudukan Jepang, dan republik, tidaklah mengherankan jika semasa hidupnya menjadi narasumber penting bagi mahasiwa dan peneliti sejarah yang ingin mengetahui perjalanan sejarah Kota Surabaya. 

Meski demikian, seorang sejarawan tetap harus kritis dalam menerima keterangan dari mana pun asalnya. 

Dalam sebuah tulisan dalam majalah Gapura No. 4/VIII/1975 misalnya, ia menulis, ” ... lebih-lebih nama (jalan) yang terang diambil dari nama orang Belanda seperti Kampemen (sekarang Jalan Kiayi Haji Mas Mansur), jalan-jalan... .” 

Sejauh penelusuran saya terhadap sumber sejarah Kota Surabaya, tidak ada seorang pun pejabat pemerintah kolonial maupun perseorangan yang memberikan kontribusi penting pada perkembangan sejarah Surabaya di zaman kolonial, yang bernama Kampemen. 

Jika ditelusuri buku perubahan nama jalan dan kampung Surabaya di tahun 1950-an, asal-usul nama Jalan Kampemen bukanlah nama orang, melainkan sebuah kamp militer yang ada di wilayah itu, sehingga nama jalannya disebut dengan Kampement Straat.

***

Karya-karya Suparto Brata menunjukkan dengan baik kepada kita bahwa sebuah karya sastra tidaklah lahir dalam ruang hampa. Sebaliknya, konteks sosial dan politik, bahkan keluarga, sangat memengaruhi lahirnya karya sastra, entah cerpen maupun novel. 

Dengan kata lain, karya-karya Pak Parto merupakan refleksi dari situasi sosial-politik yang terjadi pada zaman itu. 

Bagi Arswendo, kehadiran sosok sastrawan Suparto Brata juga menjadi refleksi bagi  dunia sastra Jawa yang begitu bergema pemakai bahasanya, tapi begitu sepi (Untoro, 2015). 

Oleh karena itu, membaca karya-karya sastra beliau tidak hanya penting bagi sastrawan dan pemerhati sastra Jawa dan Indonesia, tetapi juga bagi sejarawan, sosiolog, antropolog, dan bagi mereka yang hendak mengetahui betapa dekatnya karya sastra dengan realitas kehidupan kita. (*)

*) Sarkawi B. Husain adalah penikmat karya sastra dan dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga. 

Kategori :