BACA JUGA:Tuntutan 17+8
BACA JUGA:Mahasiswa Unpad Tolak Dialog, Desak Pemenuhan Tuntutan 17+8
Maka, jangan heran kalau rakyat merasa DPR hari ini tidak kredibel. Mereka terpilih, iya. Namun, legitimasi moralnya? Dipertanyakan.
Di sinilah tuntutan 17+8 itu menemukan momentumnya. Ia muncul bukan karena rakyat suka demo. Melainkan, karena jalur formal dirasa buntu. Jalur aspirasi dianggap mampet. DPR lebih sibuk merapikan jas dan mengoleksi mobil mewah ketimbang mendengar jeritan dapur rakyat.
Seperti tetangga saya dulu. Ia punya sumur, tapi airnya kotor. Sudah berkali-kali mengeluh minta bantuan, tetapi tidak ada yang peduli. Akhirnya apa? Ia gali sendiri sumur baru. Itulah yang dilakukan rakyat sekarang. Gali sendiri jalur aspirasi.
BACA JUGA:BEM SI Kerakyatan Desak Pemerintah Akhiri Militerisme dan Akomodasi Tuntutan 17+8
BACA JUGA:Pemerintah Pastikan Respons 17+8 Tuntutan Rakyat, Yusril: Mustahil Mengabaikan
Pertanyaan berikutnya, apakah tuntutan itu realistis diwujudkan? Jawabannya: ya, jika ada keberanian. Tidak, jika hanya jadi pajangan.
Misalnya, tuntutan agar mafia tambang dibersihkan. Semua tahu itu masalah akut. Tapi, siapa yang berani? Semua orang di lingkaran kekuasaan punya teman atau keluarga yang main tambang. Begitu disentuh, geger.
Atau, tuntutan soal reformasi pemilu. Bisa? Bisa sekali. Namun, beranikah DPR hari ini mengakui bahwa hasil pemilu lalu cacat? Rasanya seperti meminta orang menandatangani surat bahwa rumahnya sendiri dibangun di atas tanah sengketa.
Namun, ada satu hal yang tidak boleh kita abaikan. Tuntutan tersebut, apa pun bentuknya, adalah cermin. Ia menunjukkan wajah bangsa yang sebenarnya. Buruk rupa, banyak noda. Tapi, justru dari cermin itulah kita tahu bagian mana yang harus dibersihkan.
Mungkin sebagian orang sinis. Menganggap 17+8 hanya angka. Hanya jargon. Hanya alasan untuk turun ke jalan. Namun, saya melihatnya beda. Bagi saya, ini adalah alarm. Bunyi keras di tengah malam. Membuat kita yang sedang nyaman tidur harus terbangun.
Apakah kita mau bangun dan berbenah? Atau, memilih menekan tombol snooze, pura-pura tidak mendengar?
Saya teringat pepatah lama: negara besar hancur bukan karena musuh dari luar, melainkan karena kebutaan di dalam. Dan, kebutaan itu sering kali bukan karena tidak tahu, tetapi karena memilih tidak mau tahu.
Akhirnya, kita kembali ke satu kata kunci: keberanian. Berani mengakui salah. Berani memperbaiki. Berani melawan mafia yang bercokol. Berani meletakkan kepentingan rakyat di atas kepentingan kursi.
Kalau itu bisa dilakukan, 17+8 ini bukan sekadar angka. Ia akan menjadi batu loncatan. Dari keluh kesah ke perubahan nyata. Dari marah-marah ke harapan.