“Tapi demi pembangunan kota, saya rela pindah,” katanya lirih.
Dalam proses ganti rugi, Muhammad mendapat jatah Rp1,4 miliar, yang akan dibagi dengan tujuh anggota keluarganya. “Kalau uangnya cair, saya mau pindah ke Porong, Sidoarjo. Lahan sawah akan saya bangun jadi rumah,” ujarnya.
Senada dengan Muhammad, Sumiyati, 60, juga mengungkap kegelisahan yang sama. Ia tidak menolak nilai ganti rugi, tapi menolak pindah sebelum uangnya cair.
“Kami menolak tawaran rusun dari Pemkot,” tegasnya. Menurutnya, rusun tak cocok untuk keluarganya yang besar dan menjalankan usaha kos-kosan. “Kalau tinggal di rusun, mau kerja apa?” tanyanya.
Sumiyati tinggal bersama tiga anaknya di kampung itu, dan menggantungkan hidup dari usaha kos-kosan. Ia mendapat jatah ganti rugi sebesar Rp2,9 miliar. Jika cair, ia berencana membeli rumah di pinggiran kota agar bisa memiliki lahan lebih luas dan melanjutkan usahanya.
BACA JUGA:Pembangunan Underpass Taman Pelangi Surabaya Dimulai Pertengahan Tahun Ini
BACA JUGA:Kampung Bundaran Taman Pelangi Harus Kosong Bulan Depan, Mau Dijadikan RTH
Ia juga kecewa dengan sikap Pemkot. Menurut ingatannya, hakim PN Surabaya pernah merekomendasikan agar Pemkot bisa mencairkan dana ganti rugi, mengingat warga telah menang di tingkat pertama.
Namun, Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Pemkot Surabaya, Sidharta Praditya Revienda Putra, menyatakan pihaknya tidak bisa ikut campur dalam sengketa perdata antarwarga.
“Pemkot bukan pihak dalam perkara ini. Kepentingan kami hanya terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum,” jelasnya.
Dana ganti rugi, lanjut Sidharta, sudah disediakan dan kini dititipkan di PN Surabaya. “Baru bisa diambil jika sudah ada putusan final tentang siapa yang berhak atas tanah tersebut,” tandasnya.
Ia menambahkan, tugas Bagian Hukum Pemkot hanya memberikan fasilitasi bantuan hukum untuk sengketa perdata dan tata usaha negara yang melibatkan instansi atau ASN di lingkungan Pemkot. “Sedangkan perkara ini murni sengketa kepemilikan antarpihak swasta,” pungkasnya.