Burden Sharing, Independensi Bank Indonesia, dan Potensi Risiko Fiskal

Selasa 16-09-2025,21:06 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Keempat, pemberlakuan burden sharing berpotensi memicu adanya moral hazard dalam pembiayaan defisit APBN, di mana belanja negara tidak efektif sehingga independensi BI teramputasi. 

Ditambah lagi, skema burden sharing yang terlalu panjang bisa menyebabkan penurunan sovereign credit, kehilangan kepercayaan investor, dan ujung-ujungnya kembali memicu pelemahan nilai tukar rupiah. 

Berdasar pengalaman penerapan burden sharing di masa Covid-19, saat BI dimandatkan membeli SBN di pasar primer pada Juni 2020, data transaksi menunjukkan bahwa terjadi aliran modal keluar (outflows) sebesar Rp8,39 triliun, yang terdiri atas outflows SBN Rp6,80 triliun dan saham Rp1,59 triliun. 

Derasnya aliran modal yang keluar tersebut akhirnya memantik pelemahan rupiah sekitar 1,8 persen selama Juli 2020. Selain itu, selama 2020, rupiah juga melemah sekitar 3,6 persen (year-to-date).

Bagaimanapun, terdapat beberapa dampak positif dengan adanya kebijakan burden sharing dengan catatan harus diimbangi dengan sikap prudensial. 

Pertama, di saat sempitnya ruang relaksasi untuk menambal defisit APBN, pendekatan burden sharing bisa dinilai sebagai langkah mengurangi utang baru luar negeri. Berdasar data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), defisit APBN kuartal I 2025 tercatat Rp104,2 triliun atau 0,43 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). 

Dengan demikian, SBN yang diserap BI melalui pola burden sharing sebesar Rp200 triliun relatif sedikit mengatasi tekanan defisit meski alokasi penggunaan dana tersebut diprioritaskan untuk menyokong program Astacita Prabowo Subianto. 

Kedua, SBN yang diserap BI bersifat tradeable dan marketable sehingga bisa dipergunakan sebagai instrumen dalam operasi moneter seperti stabilisasi nilai tukar rupiah maupun pengendalian inflasi. 

Ketiga, adanya bunga rendah yang ditanggung renteng dengan BI dan pemerintah akan mereduksi rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB.

Data Kemenkeu mencatat hingga akhir Maret 2025, pendapatan negara tercatat sebesar Rp516,1 triliun atau 17,2 persen dari target APBN sebesar Rp3.005,1 triliun. Sementara itu, belanja negara mencapai Rp620,3 triliun atau 17,1 persen dari pagu belanja Rp3.621,3 triliun. 

Dengan postur yang nyaris seimbang antara pendapatan dan belanja, kinerja APBN kuartal I tahun ini berjalan stabil. Bahkan, keseimbangan primer, yakni indikator kemampuan negara membayar utang tanpa pinjaman baru, masih mencatat surplus Rp17,5 triliun.

Bagaimanapun, pemerintah dan BI harus tetap mengedepankan sikap kehati-hatian karena pemberlakuan burden sharing yang gegabah akan menimbulkan volatilitas pasar dan ketidakpercayaan investor. (*)

*) Sukarijanto adalah analis di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship and Leadership.

 

 

Kategori :