BACA JUGA:Digitalisasi yang Mengubah Industri Media: Adaptasi atau Mati?
Itu sebuah inovasi dan terobosan yang spektakuler dalam dunia pendidikan dan pembelajaran.
Dalam praktiknya, kepemimpinan digital menjadi kompetensi sekaligus keterampilan yang penting dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mengorganisasikan dan mengimplementasikan visi, misi, dan program yang dicanangkan.
Meski demikian, kepemimpinan digital tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus dipandu oleh kepemimpinan intelektual yang menekankan berpikir tingkat tinggi, kritis, analitis, dan pengetahuan yang mendalam untuk memimpin dan memecahkan masalah yang dihadapi.
BACA JUGA:Otak Tumpul di Era Digital
BACA JUGA:Generasi Muda dan Tantangan Demokrasi Digital di Indonesia
Kemajuan teknologi dalam berbagai platformnya dapat membantu dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia, termasuk dalam tugas kepemimpinan, tetapi bukan menggantikan.
KEPEMIMPINAN INTELEKTUAL
Kepemimpinan intelektual menjadi role model sebagai profiling kecerdasan yang melekat pada sosok pemimpin sebagai rujukan bagi organisasi atau institusi dan komunitas yang dipimpin.
Institusi pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan kepemimpinan digital karena yang dipimpin adalah manusia yang memiliki dimensi kejiwaan yang sangat kompleks mulai kalbu, pikiran, sampai rasa.
Semua itu harus dipahami dengan baik oleh seorang pemimpin, tidak cukup hanya mengandalkan kepemimpinan digital, sekalipun teknologi dapat digunakan untuk menjalankan program kepemimpinan dan mengelola organisasi, akan tetapi tidak secara totalitas.
Dapat dibayangkan dalam satu periode kepemimpinan, seorang pemimpin dengan kepemimpinan digitalnya tidak intens berkomunikasi secara langsung dengan komunitas yang dipimpin dengan alasan bahwa teknologi dapat menggantikan semuanya.
Apakah itu menjadi kepemimpinan yang efektif untuk memengaruhi komunitas yang dipimpin dan mengelola institusi?
Dalam realitasnya, era digital berdampak secara humanis bagi kehidupan manusia karena komunikasi telah tergantikan oleh alat teknologi. Misalnya, seseorang enggan bertemu secara langsung karena merasa cukup melalui teknologi.
Dalam hal tertentu, hal demikian dapat dimaklumi karena ada alasan tertentu dari seorang pimpinan.
Persoalannya, ketika pola pikir kepemimpinan digital dijadikan sebagai pengganti segalanya, akan berdampak pada merenggangnya aspek humanis dalam hubungan kemanusiaan sekaligus mendistorsi kepemimpinan yang sesungguhnya.