Ketergantungan Fiskal pada Cukai Hasil Tembakau: Antara Penerimaan Negara dan Beban Sosial

Minggu 28-09-2025,22:49 WIB
Oleh: Rossanto Dwi Handoyo*

AGENDA KEBIJAKAN JANGKA PENDEK

Dalam horizon jangka pendek, terdapat beberapa agenda mendesak yang dapat dilakukan pemerintah. 

Pertama, pengawasan terhadap rokok ilegal harus diperkuat. Peredaran rokok ilegal merugikan penerimaan negara sekaligus merusak efektivitas kebijakan cukai. 

Kedua, pemerintah harus menata tarif cukai secara hati-hati. Kenaikan tarif yang terlalu tinggi dapat mendorong konsumsi rokok ilegal dan menekan industri kecil, sedangkan stagnasi tarif justru mengurangi potensi penerimaan negara.

Ketiga, pengelolaan DBHCHT harus lebih transparan dan akuntabel. Dana tersebut perlu diarahkan secara ketat pada program kesehatan, kesejahteraan petani, serta peningkatan kapasitas daerah. 

Keempat, standardisasi produk rokok perlu diperketat. Misalnya, regulasi yang mewajibkan standar low tar dan low nikotin dapat menciptakan level playing field bagi seluruh pemain industri sekaligus mengurangi risiko kesehatan.

Kelima, pemerintah perlu mendorong kemitraan antara petani tembakau dan industri besar agar distribusi bahan baku lebih terkendali. Model itu juga dapat membantu menekan peredaran tembakau ilegal di pasar domestik.

TRANSISI DAN DAYA SAING GLOBAL

Meski menjadi sumber penerimaan besar, ketergantungan fiskal pada cukai tembakau tidak berkelanjutan. Strategi transisi fiskal menjadi keharusan. 

Pertama, pemerintah perlu melakukan diversifikasi penerimaan negara ke sektor-sektor yang lebih produktif dan bebas eksternalitas negatif seperti manufaktur ramah lingkungan, ekonomi digital, dan energi terbarukan.

Kedua, pemerintah harus mendorong transformasi industri tembakau melalui diversifikasi produk nonkonsumsi. Misalnya, pemanfaatan tembakau untuk kebutuhan farmasi atau industri lain yang lebih terkendali. 

Pada saat yang sama, industri rokok nasional harus diarahkan agar mampu bersaing di pasar global dan mendatangkan devisa meski peraturan internasional mengenai peredaran rokok makin ketat.

Transisi itu tidak boleh mengabaikan aspek sosial. Jutaan pekerja, mulai petani tembakau hingga buruh linting, masih bergantung pada industri tersebut. 

Oleh karena itu, prinsip just transition wajib menjadi landasan. Program pelatihan keterampilan, akses pembiayaan usaha baru, dan perlindungan sosial menjadi instrumen penting agar pergeseran struktur ekonomi tidak menimbulkan masalah sosial baru.

Cukai hasil tembakau adalah paradoks fiskal terbesar Indonesia. Ia menopang APBN, tetapi sekaligus menimbulkan beban kesehatan, sosial, dan ekonomi yang signifikan. 

Ketergantungan pada sumber penerimaan itu ibarat jebakan fiskal: negara diuntungkan jangka pendek, tetapi masyarakat menanggung kerugian jangka panjang.

Kategori :