selain ada adegan penyiksaan, ada juga bagian lain yang dipertanyakan kebenarannya. Misalnya, penggambaran peran Gerwani yang dituduh ikut menyiksa sambil menari-nari di Lubang Buaya.
Penelitian sejarah menunjukkan tidak ada bukti kuat mengenai hal tersebut. Fakta inilah yang membuat film ini kerap dituding lebih bersifat fiksi politik dibanding rekonstruksi sejarah.
4. Kewajiban Menonton
Generasi 80-an hingga 90-an pasti akrab dengan kewajiban untuk menonton film ini. Siswa-siswi diarahkan untuk menonton di bioskop atau layar tancap, bahkan ditayangkan berulang kali di TVRI.
Praktik ini baru berhenti setelah reformasi, ketika mulai banyak pihak yang mempertanyakan relevansi dan akurasi film.
BACA JUGA: Hari Ini 30 September, Yuk Ingat Sejarah G30S/PKI yang Jadi Tragedi Berdarah di Indonesia
BACA JUGA: Kamisan Terakhir yang Membangunkan Realitas Kembalinya Orde Baru
5. Dihentikan Lalu Dikaji Ulang
Sejak era reformasi, film ini tidak lagi ditayangkan secara wajib. Namun, wacana pemutaran film ini masih dilakukan setiap tahun, terutama sebagai pengingat sejarah.
Pro dan kontra mengenai film ini tidak pernah berhenti, ada yang menganggapnya sebagai bahan edukasi, ada pula yang menilai film ini justru menyesatkan.
MONUMEN Pancasila Sakti sebagai pengingat perjuangan para Pahlawan Revolusi. --Pinterest
Kontroversi film G30S/PKI menegaskan bahwa sejarah bukan hanya soal masa lalu, tapi juga bagaimana ia dikisahkan kembali.
BACA JUGA: Megawati dan Keluarga Berkunjung ke Senayan, Terima Pencabutan TAP MPR Soal Bung Karno Pro PKI
BACA JUGA: Aktivis 98 Dukung Prabowo-Gibran dan Tepis Masalah Neo Orde Baru
Generasi sekarang penting untuk menonton film ini dengan kacamata kritis, bukan hanya sebagai tontonan saja, tapi juga sebagai refleksi bagaimana politik dapat memengaruhi cara kita memahami sejarah. Apa pendapat Anda? (*)
*) Mahasiswa magang dari Prodi Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya