Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 9 Tahun 2025 tentang Tes Kemampuan Akademik dihadirkan sebagai alat ukur nasional untuk menjamin mutu pendidikan nasional di Indonesia perlu disambut baik.
Kebijakan TKA dimaksudkan untuk mewujudkan sistem pendidikan yang adil, transparan, dan berkualitas.
Kebijakan TKA sebenarnya tidak hanya terkait jenjang pendidikan dasar dan menengah, tetapi juga terkait pada jenjang pendidikan tinggi. Sebab, lulusan pada jenjang menengah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Untuk mengimplementasikan TKA, pemerintah melalui Kemendikdasmen memiliki peran penting. Di antaranya, menyusun pedoman dan menyiapkan sistem serta kerangka asesmen.
Demikian pula pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), juga memiliki peran penting melalui penyiapan sarana dan prasarana serta fasilitas lainnya yang dibutuhkan.
REFRESHING PEMIKIRAN
Terkait kebijakan baru SPMB selain terkait TKA seperti dikemukakan di atas, penting untuk dicermati kembali tema Sidang Paripurna Majelis Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (MSA-PTNBH) di Surabaya pada 19-20 Juni 2025 yang rutin digelar tiap tahun.
Tema yang diusung pada sidang paripurna adalah pencermatan ulang sistem penerimaan mahasiswa baru untuk sinkronisiasi dengan jenjang pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen).
Tema itu penting menjadi referensi bagi semua pihak dan para stakeholder, yaitu pemerintah, insan akademik, baik civitas academica kampus maupun warga sekolah, masyarakat luas, dan berbagai pihak lain.
Sinkronisasi dan formulasi dilakukan agar kebijakan pendidikan nasional di semua jenjang berada dalam satu ritme yang berkesinambungan, tidak terjadi kesenjangan kebijakan, walaupun kementerian yang membidangi pendidikan berbeda.
Setiap menjelang tahun ajaran baru pada jenjang pendidikan tinggi, sebagian orang tua yang memiliki anak, yang lulus pada jenjang sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat untuk persiapan masuk perguruan tinggi, sering mengalami kebingungan.
Mereka belum memiliki pengetahuan yang memadai dan sering mengalami kebingungan terkait rencana studi lanjut bagi putra-putrinya.
Hal itu terjadi karena sering terjadi pergantian kebijakan dalam pendidikan, baik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah maupun jenjang pendidikan tinggi, termasuk terkait SPMB.
Terlebih, calon pendaftar tidak memiliki kompetensi yang memadai karena saat SMA tidak ada penjurusan. Akibatnya, siswa tidak memiliki bekal akademik dan kompetensi yang baik pada program studi (prodi) yang akan dipilih di perguruan tinggi.
Fakta itu ikut memunculkan persoalan dalam SPMB, bahkan saat mereka menjalani perkuliahan.
Kebijakan Kementerian Pendidikan pada era Kabinet Merah Putih yang mengembalikan adanya penjurusan pada jenjang SMA menjadi salah satu cara untuk sinkronisasi pendidikan agar berkesinambungan.