Juyongguan begitu menantang. Anak tangganya seolah terus memanggil kami, para jurnalis peserta program China International Press Communication Center (CIPCC) untuk terus mendaki.
LANGKAH berikutnya adalah bagian yang lebih menantang: melewati dua pos penjagaan di sisi barat Juyongguan.
Jalurnya sempit, menanjak tajam, dan di beberapa bagian hanya cukup untuk dua-tiga orang melintas.
Dinding batu terasa lembap. Dingin. Bisa jadi karena sisa kabut semalam. Atau embun yang belum mengering.
Keringat mulai mengalir di balik jaket. Seorang jurnalis mencopot satu per satu jaketnya. Ia berangkat dengan memakai jaket rangkap dua. Semakin ke atas, ia hanya berkaus oblong. Itu pun basah karena keringat.
Udara 9 derajat Celsius tak lagi terasa dingin. Setiap kali menoleh ke belakang, lembah Guangou tampak makin jauh di bawah. Berlapis kabut kelabu yang menambah kesan dramatis.
Di pos pertama—benteng nomor 7—saya berhenti cukup lama. Menara itu berdiri kukuh di atas tanjakan curam. Berlantai batu dengan lubang intai di sisi utara. Dari situ, pemandangan hamparan lembah tampak seperti lukisan tinta Tiongkok klasik. Pohon-pohon masih menghijau di kejauhan meskipun musim gugur sudah separo terlampaui.
Secara arsitektural, Juyongguan memperlihatkan kecerdasan insinyur militer era Ming. Setiap 100 hingga 200 meter terdapat menara pengawas. Fungsinya sebagai pos sinyal dan tempat berlindung.
Struktur temboknya mengikuti kontur bukit. Sehingga, sehingga bentuk tembok tampak melingkar-lingkar. Di sisi dalam, terdapat saluran air dan tempat berlindung dari serangan panah.
Dalam catatan arkeologi Tiongkok, ada lebih dari 15 menara yang masih bertahan di sepanjang jalur Juyongguan. Sebagian besar direstorasi.
PEMANDANGAN ELOK tersaji begitu memasuki fase pertama pendakian tembok besar Juyongguan. Makin ke atas makin cantik.-Doan Widhiandono-
Pemerintah Beijing mulai melakukan perbaikan besar-besaran sejak era 1980-an. Sehingga, Juyongguan menjadi salah satu bagian Tembok yang paling terawat dan mudah diakses.
Satu hal yang paling menarik adalah komposisi bahan bangunan. Selain campuran tepung ketan, para pekerja zaman Ming juga memakai batu granit lokal dari Gunung Taihang yang keras dan tahan cuaca. Itu sebabnya, meski telah berusia ratusan tahun, sebagian besar dinding masih utuh.