Saya melangkah lagi ke pos kedua—benteng nomor delapan. Tangga di bagian itu jauh lebih curam, nyaris tegak. Tangan otomatis mencari pegangan di sisi dinding. Setiap langkah seolah menguji stamina dan tekad. Namun setiba di atas, rasa lelah seketika terhapus. Dari situ, Tembok tampak memanjang tak berujung, seperti ular raksasa yang berkelok menuju awan.
Beberapa wisatawan asing berdiri. Sebagian sibuk mengambil foto.
BACA JUGA:Siswa ITCC Raih Beasiswa ke Tiongkok (6): Siap Taklukkan Dunia Siber
Turun dari pos, lutut sedikit gemetar. Eh, bukan sedikit. Tapi terus menerus bergetar.
Tentu ada kepuasan yang tak bisa dijelaskan: seperti menziarahi catatan sejarah dengan langkah sendiri. Meski tak mudah… (*/bersambung)