Hari Santri memang berakar pada sejarah perjuangan ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan. Namun, kini peringatan itu berkembang menjadi cermin kemerdekaan batin: bebas dari kebencian, prasangka, dan sempitnya pandangan.
Santri menjaga Indonesia bukan dengan senjata, melainkan dengan akhlak dan keikhlasan. Dalam makna itulah, tema tahun ini menemukan relevansinya.
Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia bukan sekadar ajakan untuk maju, melainkan juga seruan untuk tetap berpijak pada nilai-nilai luhur di tengah arus global.
BACA JUGA:Refleksi dan Sinergi Bangsa dalam Memperkuat Pendidikan Santri Pascabencana
BACA JUGA:Jihad dan Perjuangan Santri di Kota Pahlawan
Pesantren kini menjadi pusat belajar yang adaptif: membuka ruang bagi literasi digital, kewirausahaan, hingga kepemimpinan sosial. Namun, di balik semua itu, ruh kesederhanaan tetap menjadi fondasi yang menuntun langkah mereka.
Logo Hari Santri 2025 berbentuk pita warna-warni yang membentuk lingkaran, melambangkan semangat kebersamaan dalam keberagaman.
Warna hijau, biru, dan merah berpadu lembut –seperti wajah Indonesia yang diimpikan: beragam tapi saling terhubung. Simbol itu menggambarkan perjalanan santri yang tidak eksklusif, tetapi terbuka pada dunia tanpa kehilangan akarnya.
Dalam berbagai peringatan Hari Santri, doa lintas agama selalu menjadi momen yang mengharukan. Di sana para pemuka dari berbagai iman berdiri berdampingan, melafalkan harapan yang sama bagi negeri ini.
Tidak ada jarak, tidak ada rasa canggung –hanya keyakinan bahwa Indonesia terlalu berharga untuk dipecah oleh kebencian.
Santri membuktikan bahwa toleransi bukan konsep, melainkan kebiasaan. Ia tumbuh dari disiplin, dari kesadaran bahwa keberagaman adalah bagian dari kehidupan. Di tengah dunia yang mudah terbakar oleh perbedaan, santri menampilkan ketenangan yang meneduhkan.
Mereka menjaga keseimbangan di antara perubahan, meneguhkan makna kebangsaan yang bersumber dari keimanan dan kemanusiaan.
Hari Santri sejatinya bukan hanya milik umat Islam. Ia milik bangsa yang percaya bahwa kebaikan bisa lahir dari mana saja. Nilai-nilai yang tumbuh di pesantren –tentang kesetaraan, kebersamaan, dan cinta damai– adalah warisan kemanusiaan universal.
Di tengah kemajuan teknologi dan arus global yang cepat, pesantren menjadi pengingat bahwa kemajuan sejati tidak hanya soal kecepatan, tetapi juga kedalaman.
Mengawal kemerdekaan berarti menjaga nurani bangsa agar tetap waras. Menuju peradaban dunia berarti membawa kearifan lokal ke ruang global tanpa kehilangan jati diri. Dalam kesunyian pesantren-pesantren kecil itu, tugas itu sedang dijalankan –diam-diam, pelan, tapi pasti.
Dari tangan-tangan sederhana para santri, lahir keteduhan yang meneguhkan makna kemerdekaan sejati: merdeka untuk menghormati dan bebas untuk mencintai.