ADA IRONI yang pelan-pelan menjadi kebiasaan: orang yang sudah meninggal masih hidup di data negara. Namanya masih tercantum dalam daftar pemilih, kartunya masih aktif di BPJS, bahkan di beberapa daerah, ”ia” masih tercatat sebagai penerima bantuan sosial.
Bagi keluarga, mungkin itu hal kecil, siapa pula yang sempat memikirkan urusan administrasi di tengah duka? Namun, bagi negara, kelalaian tersebut punya dampak besar. Ia menyentuh dasar dari semua kebijakan publik: data.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) sebenarnya sudah bicara jelas.
BACA JUGA:Kedaulatan Data RI: Menjaga Kerahasiaan Negara atau Komoditas Geopolitik?
BACA JUGA:Satu Data Indonesia, Kebutuhan atau Hanya Tren
Dalam pasal 44 ayat (1) disebutkan, ”setiap kematian wajib dilaporkan oleh ketua RT atau pejabat setempat kepada instansi pelaksana paling lambat 30 hari sejak tanggal kematian”. Dan, ayat (2) mewajibkan instansi pelaksana mencatat kematian dan menerbitkan akta kematian.
Artinya, negara telah memberikan mekanisme yang jelas. Namun, di lapangan, pelaporan kematian sering dianggap urusan pribadi keluarga, bukan kewajiban administratif. Banyak pemerintah daerah (pemda) yang hanya menunggu masyarakat datang ke kantor dukcapil, bukannya membangun sistem pelaporan aktif.
Akhirnya, banyak kematian yang tak pernah dicatat. Dan, begitu nama-nama itu tetap hidup di basis data, negara tanpa sadar terus ”menghidupi” mereka melalui berbagai skema anggaran dan layanan publik.
BACA JUGA:Minimnya Perlindungan Data Pribadi di Indonesia
DATA YANG TAK AKURAT, KEBIJAKAN YANG TAK TEPAT
Kebijakan publik selalu bertumpu pada data. Kata ”tepat sasaran” atau ”efisien” hanya mungkin terwujud kalau data kependudukan benar-benar akurat dan menggambarkan realitas. Ketika data itu salah, seluruh perencanaan dan anggaran bisa ikut melenceng.
Bayangkan, jika data penerima bansos masih memuat nama orang yang telah meninggal atau daftar pemilih tetap tidak dibersihkan dari penduduk yang sudah tiada. Argo anggaran tetap berjalan, bantuan tersalurkan, iuran dibayar, dan data tetap hidup.
Selain membuka celah kebocoran anggaran, situasi itu menciptakan ketidakadilan baru. Mereka yang berhak sering kali tidak mendapat manfaat karena kuota sudah terserap oleh data yang salah.
Dalam konteks kepemiluan, dampaknya pun serius: daftar pemilih menjadi tidak akurat, menimbulkan potensi kekeliruan, bahkan kecurigaan terhadap integritas proses demokrasi itu sendiri.
Keterkaitan antara data dan arah kebijakan itu sebenarnya sudah diatur dengan jelas. Pasal 58 UU Adminduk menegaskan bahwa data kependudukan digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan pemerintah, perencanaan pembangunan, dan alokasi anggaran.