HARIAN DISWAY - Festival Dalang Muda Jawa Timur (Jatim) menjalarkan semangat regenerasi. Cap bahwa wayang kulit dan skill mendalang identik dengan orang tua gugur dalam festival yang berlangsung di Gedung Teater Cak Durasim pada 17-18 November 2025.
Antusiasme anak-anak muda dari 27 kabupaten/kota Jatim dalam festival tersebut menerbitkan harapan di hati Sindu Parwoto. Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Ponorogo itu bangga karena ada banyak anak muda yang menekuni seni pedalangan.
Di Ponorogo, seni pedalangan juga dipelajari oleh anak-anak muda belia. Mulai pelajar SD hingga mahasiswa. "Bahkan, di sekolah-sekolah, pelajar bisa ikut ekstrakurikuler mendalang," ujarnya kepada Harian Disway saat ditemui Selasa, 18 November 2025.
Ekstra kurikuler mendalang itu tersedia di SMP Negeri 1 Ponorogo, SMP Negeri 2 Ngrayun Ponorogo, SMA Negeri 1 Ponorogo, dan SMA Negeri 3 Ponorogo.
BACA JUGA:Satu Dekade Absen, DPRD Jatim Kembali Gelar Wayangan Besok
Dibandingkan seni tradisional lainnya, pedalangan lebih rumit dan njelimet. Menjadi dalang, artinya mau belajar Bahasa Jawa.
Bukan bahasa yang digunakan sehari-hari, melainkan bahasa wayang yang biasanya adalah Bahasa Jawa Kuno dan krama. Selain itu, dalang juga harus bisa nembang serta menirukan logat para tokohnya.
Itu belum termasuk keterampilan memainkan wayang di balik geber atau layar. Juga, kelihaian memainkan keprak/kecrek dengan kaki untuk menyelaraskan permainan wayang dengan irama gamelan.
Namun, Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Jawa Timur Sinarto mengatakan bahwa seni pedalangan sekarang sudah lebih luwes.
SINARTO, Ketua Pepadi Jawa Timur, menyambut baik antusiasme peserta Festival Dalang Muda Jawa Timur dari 27 kabupaten/kota.-Tirtha Nirwana Sidik-Harian Disway-
BACA JUGA:Biar Nggak Punah! Ini 5 Cara Seru Mengenalkan Wayang ke Anak Muda
BACA JUGA:Hari Wayang Nasional: Mengenal 5 Tokoh Wayang Populer dan Nilai Luhur di Balik Sosoknya
“Kemampuan dalang umur 17 tahun kan beda dengan yang 30 tahun. Perasaan untuk mendalami nilai yang diekspresikan melalui cerita wayang juga masing-masing, tetapi semuanya tetap bagus,” ungkapnya.
Para dalang muda itu membutuhkan kesempatan dan ruang untuk mengekspresikan diri. Pepadi berharap, skill mendalang para pemuda melaju ke tingkat profesional sehingga mereka mampu bersaing di pasar seni yang kompetitif.
Dalam festival kali ini, Pepadi tidak memberlakukan penilaian yang kaku. Fokus utamanya adalah pada gerak wayang, kesesuaian karakter, kemampuan komunikasi, dan keterampilan bercerita agar lakon yang disampaikan mudah dipahami. Juri, bahkan, tidak mengharuskan pemakaian Bahasa Jawa krama lugu dan krama alus.
“Di dalam wayang, ada nilai yang harus ditransfer ke penonton. Tidak perlu pakai bahasa yang sulit dan harus menyesuaikan iringan musik untuk mendukung ekspresi dari teater wayang yang dijalankan,” jelas dalang senior tersebut.
BACA JUGA:Mengapa Dunia Mengakui Wayang Sebagai Warisan Budaya Dunia? Ini Sejarahnya
BACA JUGA:6 Jenis Wayang Unik dari Nusantara yang Tidak Banyak Dikenal
Cerita dalam wayang mampu membawakan persoalan maupun nilai-nilai luhur di dalamnya. Sebab itu, UNESCO juga menetapkan wayang sebagai Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity.
Inspirasi Dalang Senior
“Kula menika utusan saking Trajutrisna (Saya ini utusan dari Trajutrisna),” tutur Aksana Bagus Dewangga sambil memainkan wayang. Lelaki 17 tahun itu adalah salah satu peserta Festival Dalang Muda Jawa Timur yang unjuk kebolehan pada Selasa.
Kepada Harian Disway yang menemuinya usai pentas, Bagus mengatakan bahwa lakon yang ia bawakan hari itu berjudul Kikis Tunggorono. Itu adalah kisah perebutan wilayah antara dua kerajaan.
“Yang berebut wilayah adalah Kerajaan Trajutrisna dan Kerajaan Pringgondani. Nah, wilayah Tunggorono itu sebenarnya ada di Pringgondani yang rajanya adalah Gatotkaca,” papar Bagus.
SINDU PARWOTO (tengah, kaus merah) bersama para peserta Festival Dalang Muda Jawa Timur di Gedung Teater Cak Durasim pada Selasa, 18 November 2025.-Tirtha Nirwana Sidik-Harian Disway-
BACA JUGA:Kemenbud Mengenang Ki Anom Suroto sebagai Maestro Dermawan yang Tak Lelah Berbagi Ilmu
BACA JUGA:Ki Anom Suroto Tutup Usia, Tancep Kayon dan Cerita yang Tak Pernah Usai
Kerajaan Trajutrisna yang dipimpin oleh Sitija atau Boma Narakasura berusaha keras merebut Tunggorono dari Pringgondani. Dalam perseteruan itu, Krisna mencoba menengahi.
Ksatria yang dituakan oleh banyak tokoh di jagat pewayangan itu mendamaikan dua kerajaan dan memberikan solusi yang tepat. Yakni, menegaskan kembali Tunggorono sebagai bagian dari Pringgondani.
Bagus menyukai wayang sejak duduk di bangku kelas 4 SD. Dalang favoritnya adalah Anom Suroto dan Manteb Soedharsono. “Ki Anom terkenal dengan suara emasnya, sedangkan Ki Manteb memiliki teknik sabet wayang yang mumpuni,” ungkapnya.
Tidak ada dalang yang tak punya bekal. Itu juga yang terjadi pada Bagus. Siswa SMA Negeri 3 Ponorogo itu belajar mendalang di Sanggar Seni Pedalangan Pasopati Ponorogo.