BACA JUGA:Komisi C DPRD Surabaya Sanggah Respons Pertamina Soal Eigendom
BACA JUGA:Pertamina Jawab Polemik Eigendom 1278 Surabaya: Kami Memahami Kekhawatiran Masyarakat!
Permintaan tersebut diterima menteri agraria dan dikabulkan dalam bentuk hak pengelolaan tanah atas nama Pemkot Surabaya seluas 3.117.110 m2 ditambah 1.436.406 m2 di atas tanah yang telah dihuni rakyat.
Permohonan tersebut dimuat dalam SK HPL Nomor 53/HPL/BPN/97 dan SK HPL Nomor 55/HPL/BPN/97. Hal tersebut mencerminkan praktik kolonialisme tanah oleh Pemkot Surabaya yang dilembagakan melalui Perda 3/2016 tentang Izin Pemakaian Tanah (IPT) dan Perda 55/2022 tentang HGB di atas HPL.
Sistem IPT mewajibkan warga untuk membayar ganda, retribusi tahunan dan juga pajak bumi dan bangunan (PBB), sehingga muncul kesadaran kolektif warga untuk bersolidaritas membentuk berbagai komunitas demi memperjuangkan kemerdekaan atas kolonialisme tanah yang masih berjalan di Surabaya.
BACA JUGA:Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: 4,2 Juta Meter Persegi Surat Ijo di Tanah Eigendom (10)
BACA JUGA:SHM Darmo Hill Surabaya vs Eigendom Pertamina (1): Tiba-Tiba Warga Tak Bisa Urus Tanah
Peristiwa tanah Darmo Hill yang diklaim Pertamina melalui eigendom 1305 dan 1278 menjadi refleksi bagi arek-arek Suroboyo agar lebih mawas terhadap masa depan tanah yang dihuninya setiap hari.
Sosiolog Henri Lefebvre dalam The Production of Space menyebutkan, tanah sebagai ruang direproduksi dari aktivitas sehari-hari masyarakat, dikonsepsikan berdasarkan logika kapital serta kekuasaan negara, sehingga menimbulkan dominasi atas ruang kota berupa peraturan dan birokrasi yang harus ditaati. Juga, bagaimana ruang kota dimaknai oleh para penghuninya, baik pemkot maupun masyarakat.
Tanah di Surabaya secara ekonomi dapat dimaknai sebagai komoditas dan akumulasi kapital. Hal itu tecermin dari maraknya pembangunan kawasan komersial yang menyempitkan ruang hidup rakyat kecil, intervensi korporasi, dan pemkot dalam mengatur zona strategis serta pengamanan aset tanah yang dinilai menguntungkan bagi pemkot.
Sementara itu, secara kultural, tanah di Surabaya dimaknai sebagai simbol identitas sosial, simbol primordial, warisan sejarah, budaya, serta penanda eksistensi komunitas masyarakat heterogen.
Sebagai penutup, peristiwa Darmo Hill tidak hanya berkenaan dengan kerelaan Pertamina untuk melepaskan ”tanah eigendom miliknya”, tetapi juga masih ada praktik kolonialisme atas tanah yang berlaku di Kota Pahlawan.
Motif klaim Pertamina terkait dokumen eigendom di Kecamatan Dukuh Pakis, Wonokromo, dan Wonocolo dengan menggandeng BPN Jatim adalah sesuatu yang janggal. Permasalahan itu telah dimulai dari 2010 hingga saat ini, polanya lima tahun sekali.
Dengan demikian, perlu ada investigasi lanjutan. Sedangkan salah satu amanat reforma agraria adalah menghapus warisan kolonialisme Belanda. Sebab, konsep kepemilikan yang diatur oleh Agrarische Wet tidak menggunakan prinsip keadilan bagi rakyat Indonesia.
Selama sistem tanah eigendom masih diberlakukan, dengan bagaimanapun upaya untuk memperhalus namanya, maka selama itu juga kolonialisme atas tanah masih berlaku di Surabaya.
Pun, mempertegas bahwa amanat reforma agraria hanya setengah hati dilaksanakan di Kota Surabaya. (*)