HARIAN DISWAY - "SARIIIP..." teriakan itu menggema di Auditorium Ternate, ASEEC Tower, Universitas Airlangga (Unair) Kampus B.
Teriakan itu disusul dengan lenggokan lima penari. Mereka memerankan Mbokne Sarip. Dalam Bahasa Indonesia artinya "Ibunya Sarip."
Mereka memperagakan gestur menyapu. Namun, sorot mata mereka penuh harap. Menanti kunjungan sang anak. Terdengar senandung suara latar. Berkali-kali melontarkan pertanyaan, "Karepe yoopo iki dulur (Maunya bagaimana ini, saudara, Red)?"
Mbokne Sarip mempertanyakan nasibnya. Dipekerjakan oleh penjajah. Tidak diberi upah. Putri Zahratus Sita Alam, salah seorang penari, menjelaskan bahwa Mbokne Sarip ditangkap karena dianggap menjadi sumber kekuatan si Sarip.
BACA JUGA: BEM FIB UNAIR dan ILMIBSI Gelar SORAYA Edisi Kedua
Anda sudah tahu, Sarip Tambak Oso merupakan tokoh legenda dari Sidoarjo. Ia dikenal gigih membela rakyat kecil. Juga melawan ketidakadilan Belanda. Sarip terkenal sakti. Tidak bisa mati selama ibunya masih hidup.
Karena itulah Belanda menyekap sang ibu. Tujuannya untuk memancing agar Sarip mau datang dan menyerah.
"Akhirnya, setelah si Mbok meninggal, Sarip segera diburu dan dibunuh," ujar Amanda Faiza Febrianti, penari lain.
Tim penari Mbokne Sarip yang tampil siang itu berasal dari SMA Negeri 1 Porong, Sidoarjo. Mereka tampil maksimal dengan kostum berwarna kuning keemasan, riasan tua, dan tongkat kayu.
BACA JUGA:Musikalisasi Puisi Ramaikan Pestra FIB Unair
BACA JUGA:5 Tradisi Unik Nusantara yang Masih Dilestarikan sampai Sekarang
Salah seorang penari Safira Azahra menjelaskan bahwa mereka menyiapkan penampilan hari itu selama kurang lebih satu bulan.
Waktu yang cukup singkat untuk menciptakan sebuah penampilan tari beregu dengan durasi sekitar 5 menit.
"Tarian itu bisa selesai tepat waktu. Karena semua anggota tim kami sudah menari sejak di bangku SD. Jadi kami berproses dengan riang dan relatif mudah," ujar personil keempat, Elsa Putri Ramadhani.