BNPB di Persimpangan Jalan dan Urgensi Menghadirkan Pemimpin Berorientasi Kemanusiaan

Rabu 03-12-2025,06:33 WIB
Oleh: Bustomi*

Secara konseptual, kapasitas Farid juga mapan. 

Ia menulis working paper Operasi Militer Selain Perang dalam Penanggulangan Bencana (2021); Civil-Military Coordination dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia (2022); dan tugas karya perseorangan (taskap) Lemhannas berjudul Peran TNI dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia. Semua karya tersebut berangkat dari pengalaman langsung memimpin operasi kemanusiaan di lapangan.

Pola kepemimpinannya konsisten. Yakni, militer tidak menjadi pusat bencana, tetapi katalis sinergi masyarakat. Di tengah turunnya kepercayaan publik terhadap lembaga kebencanaan, model seperti itulah yang dibutuhkan.

Krisis banjir Sumatera juga membuka mata kita bahwa bencana bukan hanya soal duka, melainkan juga soal ekonomi. 

Kerugian di Aceh, Sumut, dan Sumbar mencapai Rp2,2 triliun hanya untuk tiga sektor utama, sedangkan secara nasional, dampaknya diperkirakan menyentuh Rp68,6 triliun lantaran terganggunya transportasi, distribusi, dan konsumsi rumah tangga. 

Temuan CELIOS (2025) menunjukkan penurunan PDRB regional Aceh mencapai Rp2,04 triliun yang berarti lebih besar daripada pendapatan dari tambang dan sawit yang selama ini digadang-gadang menjadi sumber pembangunan.

Dalam situasi sebesar itu, keberhasilan penanganan bencana bukan lagi sekadar urusan logistik dan komando, melainkan juga urusan menyelamatkan keberlanjutan ekonomi nasional dan stabilitas sosial. 

Di sinilah kita memerlukan pemimpin BNPB yang memahami bencana sebagai krisis kemanusiaan sekaligus krisis pembangunan.

Usulan pergantian pimpinan BNPB tentu bukan seruan emosional, apalagi politis. 

Itu adalah aspirasi publik dan kalangan profesional kebencanaan yang ingin melihat agar BNPB kembali dipercaya rakyat; respons bencana kembali cepat, empatik, dan terstruktur; sinergi sipil-militer kembali harmonis; serta pemimpin kembali hadir sebagai penopang psikologis masyarakat, terutama setelah komunikasi publik yang tidak perlu dari lembaga terkait, sehingga menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat yang sedang berduka.

Jika pergantian kepemimpinan memang menjadi prasyarat untuk mengembalikan hal-hal tersebut, langkah itu sepatutnya diambil secara berani dan bermartabat.

Bangsa ini telah berulang kali diuji bencana. Namun, yang paling menyakitkan bukan bencananya, melainkan ketika negara terlihat tidak turut berduka bersama rakyatnya. BNPB harus kembali menjadi simbol pelindung rakyat. 

Untuk itu, figur pemimpinnya harus membuat masyarakat merasa bahwa ”negara ada, negara peduli, negara bersama kita”.

Apabila pemilihan pemimpin baru diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan itu, keputusan tersebut bukan hanya rasional, melainkan juga moral. Semoga. (*)


*) Bustomi adalah direktur Eksekutif Institute for Strategic and Political Studies (Intrapols) dan mahasiswa program doktoral, FISIP, Universitas Airlangga.-Dok. Pribadi-

 

Kategori :