Rokok ilegal merajalela beberapa tahun belakangan. Gampang ditemui di mana-mana.. Bahkan, sama mudahnya dengan membeli rokok legal di toko-toko kelontong. Yang bikin rokok tanpa cukai itu kian laris, tentu saja karena harganya lebih murah hingga seperempat dari rokok bercukai. Inilah yang bikin geram pemerintah.
—-Lebih ramah di kantong. Itu alasan para pelanggan memilih rokok ilegal. Salah satunya, Deri (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa semester akhir kampus swasta di Kota Surabaya. Tiap hari, ia menyisihkan Rp10 ribu dari uang sakunya untuk “kebutuhan” belanja rokok tak bercukai itu.
“Enggak peduli rasanya. Pokok’e ngebul (pokoknya mengeluarkan asap, Red),” katanya sambil menyulut rokok bermerek Marblong itu saat ditemui Harian Disway di warung kopi kawasan Dinoyo, Senin, 24 November 2025.
Intinya, kebutuhan nikotin terpenuhi dan kantong selamat. Deri bukan kasus tunggal. Sebab, rokok ilegal beredar luas di Kota Pahlawan. Murah dan mudah didapat. Cukup untuk memuaskan kebiasaan merokok harian.
Tentu, merogoh kocek Rp10 ribu adalah solusi bagi mahasiswa rantau seperti Deri. Juga bagi karyawan swasta maupun buruh harian. Tapi, keiritan itu berbuntut pada jebloknya kas negara.
Data terbaru Kementerian Keuangan menunjukkan, rokok ilegal di Indonesia terus meningkat hingga Oktober 2025. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menindak 954 juta batang rokok ilegal. Angka itu naik 40,9 persen dibanding periode yang sama pada 2024.
Proporsi konsumsi rokok ilegal di Indonesia juga terus naik secara signifikan. Dari sekitar 28 persen pada 2024 menjadi 46-47 persen 2025. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memperkirakan tujuh hingga sepuluh persen dari total rokok yang beredar di pasaran masih ilegal. Di banyak daerah, termasuk Surabaya, fenomena itu semakin mengkhawatirkan.
Para penjaja rokok ilegal bisa leluasa membuka koper kayu berisi penuh rokok noncukai. Mereka biasanya berjualan di pinggir jalan. Konsumennya tetap sama: masyarakat kelas menengah ke bawah yang terjebak antara kebiasaan merokok dan tekanan ekonomi.
Mereka tak peduli apakah rokok itu legal atau tidak. Yang penting murah. Sementara rokok legal harganya kian melambung imbas kenaikan tarif cukai. Alhasil, masyarakat beralih ke rokok ilegal yang diproduksi tanpa pengawasan.
Lantas kenapa banyak yang tergiur menjual rokok ilegal? Tentu, karena keuntungannya besar. “Bisnis ini cuannya gila. Modalnya sedikit, tapi bisa untung 100 persen,” ujar Rizi (bukan nama sebenarnya), tangan kedua alias agen rokok ilegal saat dihubungi via telepon.
Rizi mendapat pasokan dari salah satu pabrik di Madura. Keuntungannya terbilang fantastis. Ia bisa mengantongi pendapatan bersih hingga ratusan juta dalam sebulan. Keuntungan besar itu didorong oleh permintaan yang tak pernah surut.
Wajar belaka bila potensi kas negara dari cukai rokok lenyap triliunan rupiah. Menurut Indodata Research Center, kerugian potensial dari cukai rokok ilegal mencapai Rp97,8 triliun dalam periode 2021–2024. Angka tersebut bahkan lebih besar daripada provinsi dengan APBD tertinggi 2025 seperti Jakarta yang mencapai Rp91,3 triliun.
Memang tidak ada total pasti jumlah rokok legal di Indonesia. Tetapi angka itu dapat diukur dari total produksi yang menghasilkan cukai dan data penindakan rokok ilegal. Pada kuartal I 2025, penerimaan cukai rokok mencapai Rp55,7 triliun, sementara produksi rokok turun 4,2% (YoY) sejak 2021. Bea Cukai juga menyita 816 juta batang rokok ilegal hingga September 2025, menunjukkan adanya peredaran rokok ilegal.
Bagi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, peredaran rokok ilegal menghancurkan industri rokok legal dalam negeri. Produsen kecil yang taat membayar cukai kesulitan bersaing dengan harga produk gelap yang datang dari dalam maupun luar negeri.
Keberadaan rokok ilegal terus digempur. Di Surabaya, Purbaya turut serta proses pemusnahan 5,3 juta batang rokok ilegal di Gedung Keuangan Negara (GKN) I Surabaya Kamis 2 Oktober 2025. Baginya, pemusnahan itu untuk menjaga keadilan dalam persaingan dan memastikan penerimaan negara tetap terjaga.
“Kenapa dibinasakan? Ini kan ada yang bayar pajak ada yang nggak bayar pajak. Kalau yang bayar pajak diadu dengan yang nggak bayar cukai, ya mereka rugi dong," katanya di Kantor Wilayah Bea dan Cukai Surabaya, Jawa Timur. (*)