Presiden Bongbong

Presiden Bongbong

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

FILIPINA baru saja melaksanakan perhelatan pemilihan presiden Senin (9/5), dan melahirkan presiden baru Ferdinand Marcos Junior atau lebih dikenal dengan nama panggilan Bongbong. Perhitungan suara formal oleh Komisi Pemilihan Umum belum diumumkan. Namun, hasil perhitungan cepat menunjukkan perolehan suara Bongbong dua kali lipat lebih banyak daripada pesaing terdekatnya, mantan Wakil Presiden Leni Robredo, dan mantan petinju Manny Pacquiao yang juga mencalonkan diri.

Bongbong ialah putra mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos (19171989) yang dikenal sebagai diktator Filipina yang berkuasa selama 21 tahun. Marcos memimpin dengan kekuasaan mutlak dan menerapkan politik tangan besi untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Di bawah kepemimpinan Marcos, korupsi di Filipina merajalela dan kemiskinan meluas di mana-mana. Marcos dan istrinya, Imelda, dikenal sangat korup dan menyimpan kekayaan yang sangat besar di dalam dan luar negeri.

Pada 1986 Filipina diguncang demonstrasi besar di seluruh negeri, memprotes kepemimpinan Marcos yang dianggap bobrok. Rakyat Filipina kehilangan ketakutannya terhadap kekejaman Marcos. Mereka berduyun-duyun turun ke jalan melakukan protes yang melumpuhkan aktivitas pemerintahan.

Gerakan rakyat itu kemudian terkenal dengan sebutan ”People Power”, gerakan demonstrasi rakyat secara damai yang berhasil menumbangkan rezim yang sangat otoriter dan represif. Ferninand Marcos yang terdesak tidak mempunyai pilihan lain selain melarikan diri ke Amerika Serikat ketimbang menghadapi pengadilan rakyat.

Bersama keluarga itu, ikut pula si bungsu Ferdinand Marcos Junior. Ketika itu si bungsu yang biasa dipanggil Bongbong tersebut masih seorang anak muda berusia 27 tahun yang belum pernah secara langsung bersinggungan dengan politik. Marcos Senior juga tidak mempersiapkan anaknya yang masih dianggap terlalu muda itu untuk menjadi suksesornya.

Saat ini Filipina mengalami transisi dan transformasi nasional setelah People Power berhasil mengusir Marcos. Marcos yang sangat otoriter digantikan seorang presiden baru yang sama sekali tidak dikenal kiprah politiknya dan lebih dikenal sebagai ibu rumah tangga.

Dialah Corazon ”Corry” Aquiono, istri mendiang Benigno ”Ninoy” Aquino. Semasa hidup, Ninoy dikenal sebagai musuh bebuyutan Marcos. Ninoy menjadi politikus yang dengan gagah berani menentang otoritarianisme Marcos. Ninoy yang lahir dari keluarga tuan tanah kaya raya rela membagi-bagikan tanahnya untuk para petani miskin yang menjadi korban salah urus oleh rezim Marcos.

Ninoy makin populer dan pendukungnya kian luas. Marcos tidak senang dengan keberadaan Ninoy dan memenjarakannya atas tuduhan subversi. Pada 1980 Ninoy diizinkan berangkat ke Amerika Serikat (AS) untuk mengobati sakit jantungnya. Ninoy kemudian tetap tinggal di AS sebagai eksil. Ia tetap menyuarakan perlawanan terhadap Marcos dari tempat pengasingan.

Pada 1983 Ninoy memutuskan untuk kembali ke Filipina guna memimpin pelawanan langsung terhadap Marcos. Teman-temannya sudah mengingatkan akan bahaya yang mengadangnya. Marcos tidak akan segan-segan membunuh Ninoy begitu tiba di Filipina. Ninoy bersikeras untuk tetap pulang.

Benar saja. Begitu pesawatnya berhenti di Bandara Manila, Ninoy dijemput beberapa tentara. Ketika Ninoy menuruni tangga, terdengar letusan senjata beberapa kali. Ninoy tersungkur bermandi darah dan tewas seketika di atas tarmac bandara.

Kematian Ninoy justru menyulut gerakan rakyat yang makin luas. Popularitas Ninoy yang sangat tinggi dan pembunuhannya yang brutal membuat rakyat kehilangan rasa takut. Demonstrasi menentang Marcos mulai bermunculan secara sporadis.

Puncaknya terjadi pada 1986. Rakyat sudah makin bernyali. Puluhan ribu orang melakukan demonstrasi yang kemudian dikenal sebagai Revolusi EDSA singkatan dari Epifanio de los Santos Avenue, sebuah jalan di Metro Manila yang menjadi pusat demonstrasi.

Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Filipina Kardinal Sin merestui dan mendukung gerakan rakyat. Rakyat Filipina yang mayoritas Katolik kian berani turun ke jalan. Pemimpin tertinggi militer Jenderal Fidel Ramos melihat situasi yang tidak terkendali dan memutuskan untuk mendukung gerakan rakyat.

Sebuah pemerintahan paling brutal dalam sejarah Filipina akhirnya tumbang oleh People Power. Rakyat Filipina yang masih mengenang Ninoy akhirnya memilih Corry Aquino sebagai presiden baru. Seorang ibu rumah tangga yang tidak punya pengalaman politik dipilih sebagai presiden karena menjadi simbol perlawanan yang tidak kenal takut selama revolusi.

Tradisi politik Filipina yang elitis selalu melahirkan dinasti. Sejak era Macapagal sampai era Duterte sekarang, dinasti politik bermunculan. Setelah Corry Aquino selesai menjadi presiden, giliran Jenderal Fidel Ramos yang kemudian menjadi presiden. Tradisi politik keluarga Aquino kemudian dilanjutkan anak kandung Ninoy dan Corry, yaitu Benigno Aquino Junior (19602021) yang menjadi presiden Filipina pada 2010 sampai 2016.

Sepeninggal Aquino Jr, muncullah Rodrigo Duterte yang dikenal sebagai politikus garis keras yang tidak segan mempergunakan kekerasan untuk menjalankan kepemimpinannya. Kemenangan Duterte disebut sebagai kembalinya era otoritarian ala Marcos.

Satu dekade terakhir, Rodrigo Duterte yang dikenal karena perangnya terhadap narkoba sangat besar pengaruhnya di Filipina. Duterte juga mempunyai pengaruh besar dalam dalam kemenangan Bongbong Marcos dan Sara Duterte, anak kandung Duterte. Terulangnya kejayaan keluarga Marcos serta masih berjayanya keluarga Duterte adalah simbol kemenangan sayap kanan Filipina.

Perkembangan politik di Filipina ada resonansi dengan kondisi di Indonesia. Bongbong banyak didukung pemilih milenial yang tidak merasakan era otoriter di bawah Marcos Senior. Generasi muda Filipina masa kini tidak mengalami kesengsaraan era Marcos yang otoriter. Bongbong Marcos lebih serius berkampanye di media sosial ketimbang ikut debat calon presiden untuk mengadu gagasan. Keberhasilan kampanye medsos itulah yang sukses menarik suara milenial.

Pemilih muda di Indonesia, banyak yang lahir setelah kejatuhan Soeharto pada 1998 dan tidak merasakan dampak pemerintahan Soeharto yang otoriter. Ada paralelisme dalam pemilu presiden Filipina tahun ini dengan pemilihan presiden Indonesia 2024.

Sebuah artikel di The Washington Post menyebut fenomena Bongbong memiliki kemiripan dengan fenomena kemunculan Prabowo Subianto di Indonesia. Keduanya dianggap mempunyai warisan kepemimpinan orang tuanya dan metuanya yang otoriter.

Jika Prabowo bisa menang pada Pilpres 2024, hal itu dianggap sebagai fenomena yang sama dengan kemenangan Bongbong di Filipina sekarang ini. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: