Penculik Bogor Disorot Puan Maharani

Penculik Bogor Disorot Puan Maharani

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Kasus pemerkosaan anak disorot. Tersangka penculik 12 anak (sebagian diperkosa), Abi Rizal Afif, 28, ditangkap polisi di Jakarta Kamis (11/5). Ketua DPR Puan Maharani minta tersangka dihukum berat.

MESKI pernyataan biasa, itu bakal memengaruhi proses hukum yang berjalan. Karena diucapkan ketua lembaga tinggi negara. Padahal, semua pihak dilarang memengaruhi suatu proses hukum.

Tapi, pernyataan Puan Maharani terkait undang-undang yang diteken Presiden Jokowi, Senin, 9 Mei 2022. Yakni, UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Disahkan DPR pada Selasa,12 April 2022.

Puan di keterangan tertulis, Jumat (13/5): ”Pelaku harus dihukum seberat-beratnya. Saya kira tidak cukup hanya menggunakan pasal pidana penculikan. Tetapi, juga harus dijerat dengan UU TPKS yang sudah resmi diundangkan agar korban dan keluarganya mendapatkan keadilan.”

Mengapa pelaku harus dihukum seberat-beratnya? Sebab, jika penegak hukum menerapkan pasal KUHP (seperti biasa), hukumannya paling tinggi lima tahun penjara. Padahal, sudah ada contoh hukuman mati terhadap Herry Wirawan, sebelum UU TPKS diberlakukan.

Puan: ”Kasus ini (penculikan 12 anak disertai pemerkosaan, Red) harus menjadi contoh implementasi penegakan hukum oleh aparat yang berwenang di lapangan.”

Dilanjut: ”Sebab, ini persoalan yang sangat serius buat saya. Anak-anak sebagai generasi penerus bangsa harus mendapat jaminan perlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual.”

Pernyataan Puan terdengar serius. Entah, bagaimana implementasi di lapangan. Yang kini diproses.

Kasatreskrim Polres Bogor AKP Siswo Tarigan kepada pers, Jumat (13/5),

mengatakan, tersangka Rizal Afif mengaku menculik 12 anak di wilayah Bogor, Jakarta, dan Tangerang Selatan.

”Pengakuan tersangka mulai menculik di awal Ramadan 2022. Modus, menggertak anak-anak mengaku sebagai polisi. Anak yang tidak pakai masker dibawa dengan motor, lalu disekap.”

AKP Siswo: ”Dari 12 anak itu, hasil pemeriksaan sementara, ada tiga anak yang mengalami pencabulan.”

Motif pelaku, menurut penyidik, diduga ada tiga: 1) Pencabulan (diduga pemerkosaan sesama pria karena tersangka-korban pria). 2) Pencurian HP korban. 3) Mendoktrin anak-anak yang diculik agar benci negara Indonesia, dikaitkan doktrin agama. Tersangka mengaku bekas narapidana teroris.

Tiga motif yang unik. Terutama pada motif nomor tiga. Penjahat biasanya bermotif nomor satu dan dua. Tapi, sekaligus dengan nomor tiga, jarang.

Kasus itu cepat ditanggapi Mabes Polri. Dengan menurunkan tim ke rumah korban.

Perwakilan Biro Psikologi Mabes Polri, Kompol Mujib Ridwan, kepada wartawan di rumah korban K, 12, di Jakarta Selatan, Jumat (13/5), mengatakan:

”Hasilnya bisa sehari dua hari kami sampaikan. Saat ini korban bisa diajak komunikasi. Kami tadi melakukan wawancara, hasilnya cukup bagus. Tapi, hasil lengkap, perlu observasi minimal sepekan.”

Mujib: ”Kami melaksanakan pengambilan data. Hasil nanti kami olah bersama tim dan komunikasi terhadap pimpinan. Selanjutnya kami laporkan hasil itu kepada user di sini.”

Dilanjut: ”Nanti sewaktu-waktu terjadi kondisi yang beda pada korban, katakanlah ada kondisi tidak biasa, misalkan terbangun waktu malam atau kondisi yang tidak sesuai biasanya, kami minta diberi tahu keluarga korban. Kami terus pantau kesinambungan secara komplet.”

Kali ini Polri bertindak cepat dan mendalam. Tidak terkait dengan pernyataan Puan Maharani. Sebab, Puan mengatakan itu pada Jumat (13/5) yang mungkin belum sempat diketahui pihak Polri.

Itu suatu perkembangan positif. Menyongsong UU TPKS yang baru disahkan. Puan Maharani juga meminta pihak berwenang memperhatikan keluarga korban. Membantu pemulihan prikologis korban pemerkosaan, pencabulan, atau pelecehan seksual.

Meskipun, di berbagai negara hal itu sudah lama diterapkan.

Dikutip dari Psychological Medicine, 30 Januari 2000, yang ditulis tiga pakar psikologi, Dinwiddie S,, Heath A.C., Dunne M.P., berjudul: Early sexual abuse and lifetime psychopathology: a co-twin-control study, disebutkan:

Anak-anak korban pemerkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, berdampak psikologis.

Dilanjutkan: ”Pelecehan seksual anak dapat mengakibatkan kerugian jangka pendek dan jangka panjang, termasuk psikopatologi di kemudian hari.”

Indikator dan efek: Depresi, kecemasan, gangguan makan, harga diri yang buruk, somatisasi, gangguan tidur, gangguan disosiatif, termasuk gangguan stres pascatrauma.

Dampak yang kelihatan mata, antara lain, perilaku regresif seperti mengisap jempol atau mengompol pada usia yang seharusnya tidak mengompol. Pada jangka penjang, korban akan melakukan tindakan dan minat seksual yang tidak pantas. Perilaku seks menyimpang.

”Tanda-tandanya, korban menarik diri dari sekolah dan pergaulan sosial. Juga, menunjukkan berbagai masalah pembelajaran dan perilaku, termasuk kekejaman terhadap hewan, disebut attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD).”

Selama ini, Indonesia sebagaimana negara-negara miskin dan berkembang, belum fokus pada penanganan korban pemerkosaan atau pelecehan seksual. Selain hukuman terhadap pelaku yang ringan, juga belum ada perhatian terhadap keluarga korban.

Sebab, orang tua korban juga menganggap biasa terhadap anak mereka yang jadi korban pemerkosaan atau pelecehan seksual.

Kini tidak lagi begitu. Penyidikan terhadap Rizal Afif kelihatannya bakal serius, terkait penyataan Puan Maharani. Tapi, kita harus memberikan kesempatan kepada penyidik dan penegak hukum untuk bekerja. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: