Vaksinasi Madura Belum 10 Persen

Vaksinasi Madura Belum 10 Persen

CAPAIAN vaksinasi Jawa Timur masih rendah. Dosis pertama baru mencapai 25,59 persen. Berada di urutan ke tujuh se-Indonesia. Dosis kedua masih mencapai 13,13 persen. Menempati posisi ke 12 se-Indonesia.

Rendahnya capaian itu bukan hanya disebabkan oleh lambatnya distribusi vaksin dari pusat ke provinsi. Namun, ternyata juga dari masyarakat sendiri. Terdapat empat daerah yang capaian vaksinnya sangat rendah. Bahkan tidak sampai 10 persen untuk dosis pertama.

D antaranya, Kabupaten Bangkalan hanya 9,94 persen, Kabupaten Sumenep hanya 9,21 persen, Kabupaten Sampang 6,87 persen, dan Kabupaten Pamekasan 9,70 persen. Capaian dosis kedua pun juga begitu. Tidak ada yang mencapai 10 persen.

Plt Kepala Dinas Kesehatan Jatim dr Kohar Hari Santoso menegaskan bahwa fasilitas vaksinasi sudah tersedia. Alokasi vaksin untuk wilayah Madura sudah didistribusikan. Tenaga vaksinator juga telah disiapkan. Namun, minat masyarakat masih sangat rendah.

Oleh karena itu, kata Kohar, perlu sosialisasi dan edukasi lebih jauh untuk masyarakat Madura. Sejauh ini, pemerintah sudah menggandeng para tokoh agama. Dijadikan sentral teladan untuk memotivasi masyarakat. “Itu sangat dibutuhkan agar bisa memotivasi masyarakat untuk menjaga kesehatannya,” ujar Dirut RS Saiful Anwar Malang itu, MInggu, 15 Agustus 2021.

Lalu, apa yang membuat kesadaran vaksinasi masyarakat Madura begitu rendah?

Guru besar sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto membeberkan beberapa faktornya yang harus dipahami sebagai landasan. Dari kacamata pemerintah, vaksin adalah solusi yang ditawarkan untuk menghadapi pandemi. Namun, konstruksi dan pemahaman masyarakat Madura terhadap vaksin ini sangat variatif.

Vaksin dipandang tak sekadar tentang medis. Tetapi juga secara politis dan kultural. Misalnya, banyak masyarakat yang masih tersangkut oleh sisa-sisa residu politik pemilu presiden beberapa tahun silam. Akhirnya menganggap vaksin adalah program kubu sebelah.

Kedua, adanya kabar burung yang menyatakan bahwa vaksin mengandung babi. Sehingga, masyarakat menolak vaksin karena bertentangan dengan keyakinannya. “Dikait-kaitkan dengan agama. Jadi, memang ada macam-macam alasannya,” jelas lelaki yang juga dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair itu.

Namun, ia berharap pemerintah tidak berputus asa. Problem harus dihadapi dengan mindset yang tepat. Yakni, harus dianggap sebagai tantangan untuk dipecahkan. Sebab, vaksinasi merupakan perkara yang darurat. Agar kekebalan kelompok segera terwujud.

“Kalau tokoh agama sudah tidak punya efek, maka harus dicari lagi tokoh-tokoh lain yang punya pengaruh di setiap komunitas-komunitas kecil dalam masyarakatnya,” katanya. (Mohamad Nur Khotib)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: