Berpacu dengan Saturasi Pasien
Martino Wongi Afandi tak bisa membendung air mata bila pasiennya meninggal dunia dalam perjalanan ke RS. Karena itu, di saat mengangkut pasien dengan saturasi rendah, Tino tak segan-segan memacu ambulansnya hingga kecepatan 100 km per jam.
SUDAH dua tahun ini Martino Wongi Afandi menjadi sopir ambulans Lembaga Filantropi Surabaya. Ia tidak ingat persis sudah berapa banyak jenazah dan pasien Covid-19 yang diantarkan ke tempat tujuan.
Sebelum Agustus, misalnya, Martino harus menghadapi volume pekerjaan yang luar biasa sibuk. Maklum, di bulan-bulan sebelumnya, Martino mengantarkan dua atau tiga pasien. Namuh, sejak Juli lalu, ia harus mengantarkan jenazah maupun pasien hingga enam kali lipat, bahkan lebih. ”Saya tidak ingat persis sudah antarkan berapa korban,” sebut Martino, warga Kecamatan Gubeng, di Pos Sekuriti Lapangan Futsal Ole-Ole 2 Ngagel, Jumat (13/8).
Biasanya, tiga unit ambulans terpakir di pos sekuriti itu. Jumat lalu hanya ada dua mobil. Mobil yang satu digunakan untuk mengangkut jenazah. Mobil kedua untuk mengangkut pasien non-Covid. Satu mobil lainnya sedang dipakai rekannya untuk mengantarkan pasien Covid.
Dua mobil ambulans yang terparkir itu bertulisan #SR atau Sedekah Rombongan. #SR itu nama sebuah yayasan milik seorang pengusaha ternama di Surabaya.
Yayasan tersebut bergerak di bidang sosial dan kesehatan, terutama kaum duafa dan yatim piatu. Awalnya #SR adalah sebuah komunitas. Karena pertimbangan tertentu, komunitas itu kemudian mengubahnya menjadi yayasan.
Pria yang akrab dengan panggilan Tino tersebut mengatakan, mobil ambulans itu bisa dipakai masyarakat siapa saja yang membutuhkan. Tak peduli kaya atau miskin. Hanya ada sedikit perlakuan yang berbeda. Tino tidak mengutip biaya dari orang yang tidak mampu. Untuk orang mampu pun ia tidak menuntut macam-macam. Ia hanya mengutip uang bensin.
Sebelum bergabung sebagai pengemudi di #SR, Tino sempat bekerja di sebuah perusahaan jasa supervisor kargo di Bandara Juanda. Tidak kerasan di sana, Tino pilih mundur.
Lewat sebuah kejadian pribadi yang luar biasa, Tino akhirnya memilih menjadi sopir ambulans. Padahal, ia punya trauma luar biasa dengan mobil ambulans. Waktu masih anak-anak, Tino sering ditakut-takuti oleh mobil itu. Kenapa? ”Tetangga maupun orang tua saya selalu mengatakan, banyak hantu di mobil ambulans. Saya pun akhirnya ketakutan,” sebut pria lajang tersebut.
Dua tahun lalu ketakutannya sirna. Kala itu ibunda tercinta meninggal dunia. Tak ada satu pun mobil ambulans yang merespons teleponnya. Untung, ada ambulans gratis dari luar kota yang mau membawa jenazah ibunya. Bertolak dari pengalaman pribadi itulah, Tino akhirnya bertekad mewakafkan dirinya sebagai sopir ambulans. ”Saya mau bantu orang. Karena itu, saya bergabung ke komunitas Sedekah Rombongan,” ujarnya.
Menjadi sopir ambulans bukan pekerjaan yang mudah lho ya. Tino harus stand by 24 jam. Jika sewaktu-waktu ada telepon, ia harus berbegas menjemput pasien. Hampir tiap hari HP Tino bergetar.
Sejauh ini, Juni-Juli lalu menjadi momen yang paling sibuk. Nyaris tiap saat HP Tino berdering. Ia dan rekan-rekannya kerap kali kewalahan menerima panggilan yang datang silih berganti.
”Kami harus stand by terus. Tidak ada kata berhenti. Untung, Agustus ini traffic panggilan sudah jauh menurun. Tapi, mau bagaimana lagi, namanya juga pekerjaan,” ujarnya.
Selain stand by, tantangan menjadi sopir ambulans adalah kejar-kejaran dengan waktu. Risikonya sangat tinggi. Sebab, semuanya berkaitan dengan nyawa orang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: