Berpacu dengan Saturasi Pasien

Berpacu dengan Saturasi Pasien

Ia lantas berkisah. Suatu ketika ia pernah menjemput seorang pasien. Saat itu kondisi jalanan padat. Sesampai di gerbang rumah sakit, pasien itu sudah meninggal. Ia hanya telat 3 menit. Saat menurunkan pasien dari mobil, Tino tahu pasien sudah meninggal. Namun, ia tidak mau mengatakan itu kepada keluarganya. Saat pasien divonis meninggal oleh dokter sebelum mendapat pertolongan, spontan saja keluarganya mencaci maki Tino. Mereka menyalahkan Tino karena tidak bisa menyelamatkan pasien. ”Ya, seperti itulah susahnya menjadi sopir ambulans,” ungkapnya.

Bagi Tino, yang paling menegangkan adalah mengantar pasien Covid-19. Selain  berpacu dengan waktu, ia harus berjibaku dengan panasnya baju hazmat. Ia mengatakan, kebanyakan pasien Covid-19 saat dibawa sudah memiliki saturasi yang rendah. Bahkan, banyak yang sudah masuk tahap kritis. Kalau sudah di posisi itu, Tino langsung ambil keputusan pribadi. Ia terpaksa memacu ambulans dengan kecepatan hingga 100 km per jam.

Menurut Tino, dua bulan lalu ia sudah mengantarkan ratusan pasien. Tidak sedikit pasien yang meninggal saat dalam perjalanan ke rumah sakit.

Kalau sudah begitu, air mata Tino tidak terasa mengalir dari dua matanya. Ia seperti dihantui perasaan bersalah.

”Padahal, kami sudah menargetkan pasien terjemput kurang dari 10 menit. Kami sudah tak kurang-kurangnya mencari jalan dan rute tercepat. Tapi, namanya umur tidak ada yang tahu. Namun, sampai detik ini, saya tetap mencintai pekerjaan saya,” ungkapnya. (Andre Bakhtiar)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: