Pelajaran Berharga dari Biaya Tes PCR

Pelajaran Berharga dari Biaya Tes PCR

HARGA tes swab PCR (polymerase chain reaction) turun drastis, dari rata-rata Rp 850 ribu ke Rp 450 ribu–Rp 495 ribu di Surabaya. Itu menyusul instruksi pemerintah yang menyebutkan bahwa biaya tes PCR paling tinggi adalah Rp 495 ribu di Jawa-Bali dan Rp 525 ribu di luar Jawa-Bali.

Kemampuan penyedia layanan menurunkan harga itu pun menimbulkan tanda tanya masyarakat. Bahwa selama ini penyedia layanan PCR meraup untung berlipat-lipat. Mereka dianggap memanfaatkan pandemi dan kebutuhan PCR yang tinggi untuk memperoleh keuntungan besar.

Apa betul seperti itu? Indonesia Corruption Watch (ICW) menghitung setidaknya keuntungan dari bisnis tes swab PCR itu  antara Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp 10,46 triliun. Keuntungan tersebut dihasilkan dari omzet tes PCR dalam kurun waktu itu yang diperkirakan mencapai Rp 23,2 triliun. Itu didasarkan pada jumlah spesimen yang diperiksa laboratorium dikalikan dengan rata-rata tarif Rp 900 ribu dalam kurun waktu kurang dari satu tahun tersebut.

Dalam catatan ICW, rata-rata nilai transaksi PCR per bulan sekitar Rp 1 triliun hingga Rp 3 triliun. Saat puncak persebaran varian Delta Juli lalu, nilai transaksi tes PCR diperkirakan mencapai Rp 5,52 triliun. Juni dan Agustus ini nilainya juga cukup tinggi, yaitu Rp 2,72 triliun dan Rp 2,82 triliun.

Selama ini swab PCR dianggap sebagai tes paling akurat untuk mendeteksi seseorang terpapar Covid-19. Pasien dinyatakan positif jika terkonfirmasi positif dalam tes PCR tersebut. Tes PCR yang sudah dilakukan tentu jauh di atas jumlah penduduk yang terkonfirmasi positif. Sebab, banyak penderita yang menjalani tes tiga hingga lima kali.

Saya yang pernah terpapar Covid-19, misalnya, sudah lebih dari lima kali tes PCR. Saat pertama terkonfirmasi positif dan setiap lima hari selama di rumah sakit. Dengan hampir tiga pekan di rumah sakit, berarti empat kali tes. Terakhir tes untuk memastikan sudah sembuh dan bisa masuk kantor lagi. Itu belum termasuk berbagai tes PCR di kantor saat ada acara yang mengharuskannya offline.

Per 24 Agustus, kasus positif Covid di Indonesia sudah mencapai 4 juta orang. Rata-rata tiap hari masih ada tambahan lebih dari 20 ribu. Artinya, tes PCR masih akan terus dibutuhkan hingga kita belum tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Karena itulah, mengatur harga tes PCR tersebut begitu penting. Sebab, kebutuhan masyarakat dan pemerintah sangat besar.

Berapa sebenarnya biaya riil tes PCR? Saat saya tanya, mantan direktur utama sebuah rumah sakit BUMN di Surabaya menyebutkan bahwa biaya pokok tes PCR ialah Rp 275 ribu hingga Rp 300 ribu. Itu terdiri atas reagen, tenaga kesehatan, APD, perawatan alat tes, dan depresiasi alat tes yang investasinya sekitar Rp 600 juta. Dia mengaku omzet rumah sakit saat pandemi tahun 2020 meningkat drastis. Labanya naik hampir empat kali lipat jika dibandingkan dengan laba sebelum pandemi (2019).

Berdasar investigasi ICW, reagen paling murah adalah intron yang harganya sekitar Rp 180 ribu dan paling mahal sonsure Rp 345 ribu. Lainnya, toyobo Rp 200 ribu, SD biosensor Rp 195 ribu, dan kogone Rp 280 ribu.

Dengan biaya pokok seperti itu, saat harga tes PCR Rp 800 ribu hingga Rp 900 ribu, keuntungan penyedia jasa tes PCR itu berlipat-lipat. Bisa untung lebih dari 200 persen atau Rp 600 ribu per sekali tes. Karena itulah, meski sekarang ada pembatasan harga maksimal, Rp 595 ribu di Jawa-Bali, tes PCR itu masih sangat menguntungkan. Apalagi, sekarang harga reagen juga sudah menurun tajam. Jika awal 2021 masih di atas Rp 200 ribu, sekarang tinggal sekitar Rp 160 ribu saja.

 

KPPU Harus Awasi Bisnis Kesehatan

Keuntungan yang berlebihan tes swab PCR dalam situasi pandemi tentu sangat mengecewakan. PCR mungkin hanya salah satunya. Sebab, saat persebaran Covid-19 sangat masif, masyarakat panik dan tidak lagi berpikir rasional. Apa saja yang dianggap bermanfaat untuk menjaga diri dan bisa meningkatkan imun dibeli. Meski harganya sangat mahal. Begitu pula obat atau herbal yang disebut-sebut bisa menyembuhkan Covid, juga diburu masyarakat.

Di tengah situasi seperti itu, tampaknya banyak pebisnis yang mengail di air keruh. Kita ingat di awal pandemi, masker medis yang biasanya hanya Rp 25 ribu per boks tiba-tiba naik hingga Rp 200 ribu. Begitu juga vitamin D, vitamin C, dan berbagai obat yang disebut-sebut efektif menyembuhkan Covid seperti remdesivir, favipiravir, lopinavir-ritonavir, oseltamivir, dan klorokuin. Juga, antibiotik yang direkomendasikan Satgas Covid-19 seperti azithromycin. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: