Serial Dimaz Muharri (8): Bertemu Muma

Serial Dimaz Muharri (8): Bertemu Muma

Liga Basket Mahasiswa (Libama) Nasional benar-benar membekas bagi Dimaz Muharri. Selain timnya menjadi juara, ia juga berhasil "memetik" kembang basket mahasiswa. Untuk urusan yang satu ini butuh perjuangan ekstra.

---

ADA dua pemain basket lokal favorit Dimaz Muharri. Antonius Ferry Rinaldo dan Selvia Wetty. Kalau A.F. Rinaldo sudah banyak yang tahu. Ia adalah pemain Aspac yang jadi langganan timnas basket Indonesia. Inal –sapaan A.F. Rinaldo– adalah salah satu point guard terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Kini Inal meniti karir sebagai pelatih. Terakhir ia membesut NSH di IBL musim 2020.

Tapi siapa Selvia Wetty? Dia bukan pemain basket profesional. Tapi begitu dikenal oleh pebasket di Indonesia. Terutama pebasket yang dulu berlaga di Libama Nasional 2005 dan 2006. Di Libama, Selvia Wetty merupakan pemain Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STE) Indonesia.

"Selvia itu selalu pakai nomor punggung 17. Karena itulah saya juga selalu memilih nomor jersey 17," kata Dimaz Muharri. Saat di Libama, Dimaz memakai nomor punggung 18. Barulah sejak di Surabaya, ia memilih nomor 17. Selain itu nomornya Selvia, juga merupakan tanggal lahirnya.

SELVIA Wetty, saat masih aktif bermain basket. (Foto: Dokumentasi Dimaz Muharri)

Dimaz jatuh cinta pada Selvia pada pandangan pertama. Mereka sama-sama tampil di Libama Nasional 2015. Dimaz mewakili STMIK-Mikroskil, Medan dan Selvia adalah pemain STE Indonesia. Saat itu seri pertama digelar di Yogyakarta. Itulah pertemuan pertama mereka. Dimaz harus gigit jari. Selvia saat itu sudah punya pacar. Pemain basket dari Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung.

Ceritanya, STMIK-Mikroskil akan melawan Unpar pada hari berikutnya. Dimaz dan rekan-rekan se-tim menonton Unpar bertanding. Saat itulah Dimaz melihat ada cewek yang nonton Unpar bertanding. Cewek tersebut berteriak setiap kali ada salah seorang pemain Unpar pegang bola atau shooting. Dari situ Dimaz tahu bahwa Selvia punya pacar. Sebut saja namanya Si Unpar.

Setiap kali Selvia bertanding, Dimaz juga menonton. Si Unpar juga. Sejak itu, pikiran Dimaz dipenuhi wajah Selvia. "Dia itu putih, saya kira indo. Waktu itu belum tahu bahwa dia berdarah Minang," kata pelatih DBL Academy itu.

Dimaz berusaha mencari tahu tentang Via –sapaan Selvia. Saat itu Via begitu ngetop di anak-anak basket. Meskipun sudah punya pacar, banyak yang naksir. Termasuk Dimaz. Bisa dibilang kembangnya Libama.

Via tidak tahu saat itu ada pebasket dari Medan, asli Binjai, yang jatuh hati kepadanyi. Dimaz tidak diliriknyi sama sekali. "Ya saya kan siapa waktu itu. Pemain dari daerah," kenang Dimaz.

Kesempatan untuk bertemu Via makin besar karena STMIK-Mikroskil dan STE Indonesia sama-sama tembus final four. Tim putra Unpar tidak lolos. Putaran final digelar di Jakarta. Tim Dimaz menjadi juara. Via dan timnyi peringkat 3.

"Kenalkan, saya Dimaz." Hanya itu kalimat yang terucap dari mulut Dimaz saat mengajak Via berkenalan. Perkenalan terjadi di tengah-tengah penyerahan medali juara. Singkat, padat, tidak jelas. Respons Via datar saja.

Dimaz tidak kekurangan akal. Saat itu, banyak suporter cewek yang ngefans kepada Dimaz. Salah satu fans itu adalah junior Via di kampus STE Indonesia. Dari fans itulah Dimaz mendapatkan nomor HP Via. Dimaz pun pulang ke Medan membawa trofi juara, medali, dan nomor HP Via.

Sejak itu, Dimaz rajin mengirim short message service (SMS) kepada Via. Tahun itu belum ada WhatsApp. Jarang sekali dibalas. "Mungkin sepuluh kali SMS, sekali dijawab. Itu pun singkat," kata Ndim–panggilan Dimaz oleh ibunya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: