Muhammad Kace
KEHEBOHAN yang ditimbulkan youtuber Muhammad Kace berakhir dengan penangkapan. Setelah beberapa hari menimbulkan kontroversi karena unggahannya yang dianggap melecehkan Islam, Muhammad Kace ditangkap polisi. Ia dinyatakan sebagai tersangka dan langsung ditahan.
Banyak kalangan yang merasa lega dengan penangkapan itu. PBNU mengapresiasi kerja cepat polisi dan mengingatkan masyarakat untuk memercayakan kasus tersebut kepada proses hukum. PP Muhammadiyah menyatakan bahwa kasus semacam Kace masih mungkin terjadi lagi. Sebab, teknologi informasi sekarang dipakai secara meluas oleh semua kalangan masyarakat. Konten-konten yang beraneka ragam bisa diakses secara mudah dan berkelebihan, abundan, dalam waktu 24 jam nonstop.
Selain kasus Kace, Polri masih menunggak satu kasus lain, yaitu Joseph Paul Zhang, yang mengaku sebagai nabi ke-26. Zhang masih mengunggah konten-konten yang dianggap melecehkan Islam. Sudah banyak yang memprotes dan melaporkannya ke polisi. Namun, Zhang belum bisa ditangkap sampai sekarang.
Zhang lahir dan besar di Salatiga, Jawa Tengah, kemudian pindah ke Jerman. Dari sana ia mulai melancarkan kampanye dengan unggahan-unggahan kontroversial yang dianggap anti-Islam. Ketika unggahannya menjadi viral dan menimbulkan kehebohan, Zhang lari dan bersembunyi. Upaya Polri untuk melibatkan Interpol belum membuahkan hasil.
Dari tempat persembunyiannya di Eropa, Zhang masih tetap berkomunikasi dengan jamaahnya yang tersebar di seluruh dunia. Hal itu terlihat dari narasi pada setiap unggahannya. Ia selalu menyapa jamaah yang tersebar, mulai Indonesia, Asia, Eropa, hingga Amerika Serikat.
Sebelum kasusnya diributkan beberapa kalangan Islam di Indonesia, Zhang tidak dikenal siapa pun. Unggahannya paling-paling hanya ditonton puluhan orang. Tapi, begitu mendapat reaksi dari para pemuka Islam dan muncul desakan agar ia ditangkap, kontan ia mendapat durian runtuh. Kanal Youtube-nya meledak dan puluhan ribu, bahkan ratusan ribu, orang menonton unggahannya.
Endorsement gratis itu juga dinikmati Muhammad Kace. Sudah cukup lama ia mengunggah konten di Youtube, tapi yang menonton cuma sejumlah jari. Tapi, begitu ada protes dari PBNU dan MUI, kanal Muhammad Kace langsung diserbu penonton.
Unggahan-unggahannya langsung viral, menyebar ke mana-mana, termasuk ke berbagai grup Whatsapp. Muhammad Kace dan Paul Zhang menjadi ”instant hit” dan menjadi selebritas baru medsos. Unggahannya langsung diserbu puluhan ribu penonton sekali tayang. Semua youtuber pasti bermimpi unggahannya ditonton puluhan ribu orang.
Itulah berkah dan bencana dunia digital. Teknologi selalu membawa dua wajah, pisau bermata dua. Di masa lalu pengajian seorang ustad atau guru mengaji mungkin akan didengar puluhan santri saja.
Almarhum KH Zainuddin M.Z. menjadi mubalig paling fenomenal dan dikenal dengan julukan ”Dai Sejuta Umat”. Ceramah-ceramahnya melalui televisi dan radio ditonton dan didengarkan jutaan orang. Khalayak yang mendengarkan ceramah-ceramah Kiai Zainuddin terbatas dalam teritorial Indonesia yang terjangkau siaran televisi saja. Sebab, jangkauan televisi terestrial masih sangat terbatas. Sesekali Kiai Zainuddin diundang memberikan ceramah kepada diaspora Indonesia di luar negeri. Ketika itulah, Kiai Zainuddin goes international secara fisik dan analog.
Di masa 1990-an sebuah pengajian di kampung yang dihadiri seribu jamaah saja sudah pasti akan disebut sebagai ”Pengajian Akbar”. Sekarang, di era digital, pengajian Gus Baha ditonton ratusan ribu orang sekali tayang. Gaya peci Gus Baha yang mendongak menjadi ikon anak-anak muda muslim di seluruh dunia. Pengajian Gus Baha diikuti secara streaming di seluruh dunia. Kutipan-kutipannya dengan logat khas Jawa Tengah dan idiom-idiom pesantren yang kental menjadi viral setiap saat.
Ustad Abdul Somad, Ustad Das’ad Latief, Gus Nadjih Maimoen, Buya Yahya, Ustad Adi Hidayat, Ustad Khalid Basalamah, Ustad Hanan Attaqi, dan sebutlah semua ustad zaman now. Mereka semua mendapatkan berkah dari internet sehingga bisa melakukan dakwah digital dengan murah dan efektif serta menjangkau puluhan juta umat dalam sekali tayang.
Ceramah para ustad dan kiai digital itu tidak hanya didengar dan disaksikan di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Diaspora Indonesia yang tersebar di seluruh dunia bisa melakukan streaming secara live, mengikuti pengajian secara langsung, berdialog secara langsung dengan sang kiai, di mana pun mereka berada.
Gus Nadjih yang ada di Rembang, Jawa Tengah, bisa memberikan pengajian Al-Hikam secara live dan disimak santri yang ada di Johanesburg, Kairo, maupun Washington DC. Para santri digital itu tumbuh di mana-mana dan menjadi jaringan santri digital yang kuat dan solid. Mereka menjadi komunitas santri digital global baru yang menjadi bagian dari ”the network society” alias masyarakat berjaringan (Castells, 1996).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: