Muhammad Kace
Digitalisasi dakwah menjadi fenomena mutakhir yang membawa berkah bagi dunia dakwah. Fenomena itu tidak pernah ada dalam sejarah dakwah Islam sepanjang 15 abad perkembangan Islam. Hal tersebut menimbulkan kegalauan di kalangan tradisionalis, yang mengkhawatirkan lunturnya tradisi pengajaran Islam tradisional seperti yang selama ini hidup di pesantren.
Ada kekhawatiran munculnya santri digital itu akan menimbulkan trivialisasi –pendangkalan– pemahaman Islam. Ajaran Islam memang menyebar dengan sangat masif. Namun, penyebaran itu hanya bersifat kulit tanpa pendalaman isi. Para tradisionalis mengkhawatirkan, pengajian digital tidak akan mutawatir alias tidak menyambung kepada sumber yang otoritatif.
Itu adalah reaksi wajar atas perubahan sosial. Di mana pun dan kapan pun, teknologi akan membawa perubahan kecil sampai revolusioner. Perubahan sosial itu akan membawa konsekuensi perubahan tradisi, yang pada akhirnya akan menghilangkan otoritas elite terhadap publik.
Pada masa lalu para kiai di lingkungan tradisional menjadi elite sosial yang menjadi pusat untuk belajar dan bertanya. Seluruh perikehidupan, mulai mencari jodoh sampai mencari pekerjaan, akan ditanyakan kepada kiai. Kiai kampung, dengan otoritasnya yang tinggi, akan menjadi rujukan kebenaran serta menjadi opinion leader dan opinion maker yang sangat powerful.
Dengan munculnya teknologi digital, otoritas itu berpidah dari para kiai tradisional kepada ”KH Google”. Persoalan agama dan persoalan sosial apa pun akan ditanyakan kepada Kiai Google, dan jawaban yang diterima nyaris tanpa pertanyaan. Kalau dulu masyarakat desa tunduk, tawaduk, dan cium tangan kiai, sekarang mereka tunduk dan tawaduk dengan penuh takzim kepada Kiai Google meski tanpa cium tangan.
Kia Google dan para kiai digital itu mengancam pengaruh kiai tradisional. Teknologi digital menjadi ancaman terhadap otoritas kiai tradisional. Hal tersebut wajar karena biasanya para kiai termasuk kategori ”laggard” atau lambat dalam menerima difusi teknologi (Rogers, 1983).
Laggard adalah orang-orang terakhir yang menerima dan mengadopsi perubahan teknologi dan sering diledek sebagai gaptek (gagap teknologi). Tetapi, kelompok itu lambat laun akan menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan mengadopsinya dengan melakukan penyesuaian. Konsep ngaji sorogan yang menjadi ciri khas pesantren akan berubah menjadi ngaji sorogan digital yang tetap mutawatir meski sang santri tidak berhadapan langsung dengan sang kiai.
Teknologi selalu membawa berkah dan bencana. Berkah digital sudah sangat terasa untuk mengglobalkan dakwah Islam. Sebaliknya, bencana digital, seperti kasus Muhammad Kace dan Joseph Paul Zhang, akan selalu muncul sampai kapan pun. Itulah tantangan bagi para kiai dan santri digital zaman now. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: