Melepaskan Diri dari Kewaktuan

Melepaskan Diri dari Kewaktuan

Sketsa ekspresionis. Perupa Yogyakarta Nanang Widjaya sangat konsisten menekuni genre itu sejak berkecimpung kali pertama dalam dunia seni rupa. Tepatnya sejak di bangku SMSR. Seperti apakah itu?

KONSISTEN dalam berkarya itu mutlak bagi seorang seniman. Sebab itulah yang membentuk karakter dan kualitas. ”Itu bukan perkara tanggung jawab pada publik doang. Tapi pada kolektor juga. Misal, jangan sampai ada penilaian lukisan kita dulu bagus kok sekarang kualitasnya turun. Itu harus dicermati,” ujar Nanang.

Maka perkara memilih cat bukanlah sepele. Bila telah memilih merek dan kualitas tertentu, jangan sampai pada kemudian hari membuat karya dengan merek dan kualitas cat yang jauh di bawahnya. ”Sepertinya enggak ada pengaruhnya, tapi ketidakkonsistensian itu bisa berakibat buruk lho,” terangnya.

Termasuk soal kertas. Jika telah sekian lama menggunakan kertas baik, jangan karena pertimbangan murah atau tren, lantas membeli kertas biasa yang kualitasnya tak seperti yang biasa dipakai. ”Disiplin sepele-sepele semacam itu perlu. Bahkan dalam segala hal. Baik keseharian maupun berkarya,” ujar pelukis yang tinggal di Sleman itu.

Satu hal penting yang perlu dilakukan perupa adalah meluangkan waktu untuk berlatih. Jangan sampai seniman merasa sudah piawai lalu tak perlu ada latihan. Pun tentang ketepatan waktu yang sering dianggap sepele oleh seniman. Sarannya, bila sudah terikat janji atau deadline, wajiblah dipenuhi.

”Misalnya yang suka telatan, maka bila berhadapan dengan kolektor luar negeri pasti amblas. Usahakan bila janji jam sekian, misalnya, ya datanglah beberapa menit sebelumnya. Kalau terlambat, mereka akan memberi penilaian buruk pada seniman berikut karyanya,” ungkap pria 51 tahun itu.

Perupa Nanang Widjaya bersama hasil on the spot yang ia gambar dengan media cat air.
(Foto: Nanang Widjaya untuk Harian Disway)

 

Soal konsistensi sebagai seniman itu diakui Nanang sudah dirintisnya sejak ia menjadi siswa Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta pada 1986-1990. Selama belajar, Nanang mencoba mengobservasi karekternya sendiri. Ia ingat sudah tertarik dengan genre ekspresionisme sejak dini.

”Waktu itu saya sudah berpikir untuk menjadikannya berbeda. Ekspresionisme yang ditorehkan dalam pewarnaan dan garis-garis spontan karya sketsa. Ketemulah karakter yang saya pertahankan sampai sekarang, sketsa ekspresionis,” ungkapnya.

Saat duduk di bangku kelas 1 SMSR, karya sketsa ekspresionis miliknya bahkan sudah bisa dipamerkan di Ubud, Bali. Itulah momen pameran tunggalnya pertama kali. Saat sekolah pula, Nanang getol menawarkan lukisannya.

”Dulu kan enggak ada media sosial. Biar galeri atau kolektor tahu karya saya, saya harus door to door. Berkeliling ke tiap galeri dan kolektor sambil membawa lukisan. Selain itu saya sudah menerima pesanan. Hasilnya untuk menghidupi dirinya. Membayar indekos dan biaya sekolah,” ujarnya.

Dari sekian genre yang ia pelajari, basic melukis tetaplah realisme. Dari sanalah seniman akan diarahkan pada genre yang paling tepat sebagai karakternya. ”Teknik anatomi, proporsi, komposisi dan pewarnaan yang ideal adalah dasar melukis. Saya juga menekuni realisme sebelum beralih ke sketsa ekspresionis,” paparnya.

Selama bergelut dengan seni rupa, kepuasan datang bila Nanang mampu mendokumentasi segala hal. Entah bangunan bersejarah sampai aktivitas manusia. Jika fotografer selalu menunggu waktu yang tepat untuk memotret, seperti saat pagi atau sore agar memperoleh pencahayaan maksimal, Nanang punya perspektif berbeda.

Ada yang ia sebut sebagai lepas dari kewaktuan. ”Pencahayaan dalam karyanya selalu diguratkan dalam warna-warni ekspresif. Berikut paduan-paduan garis spontan yang memperhitungkan estetika komposisinya. Lihat nih dalam karya saya berjudul Kelenteng Gondomanan,” katanya, sambil menunjuk. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: