Melepaskan Diri dari Kewaktuan

Melepaskan Diri dari Kewaktuan

Ia melukis bentuk bangunan kelenteng dengan garis-garis tegas. Saling-silang membentuk komposisi karya. Namun tanpa mengurangi esensi arsitektural kelenteng tersebut. Pewarnaannya menggunakan media cat air. Efek bias warna yang menggradasi di beberapa sudut, detailnya cukup rapi. 

Menurutnya, watercolorist harus sering mengalami kegagalan ketika menorehkan cat air untuk memberi warna pada bagian-bagian kecil. ”Sebab karakter cat air itu susah ditebak. Begitu juga efek biasnya atau biasa disebut mblobor yang biasa dipakai para pelukis cat air,” ujarnya.

Belum lagi percampuran warna yang terkadang menghasilkan hasil yang tak sesuai keinginan. Seorang pelukis cat air harus banyak bereksperimen sampai benar-benar bisa menguasai media tersebut. ”Buat saya, media cat air itu menantang. Media yang punya tingkat kesulitan tinggi,” ungkapnya.

Itu bila dibandingkan dengan cat minyak atau akrilik yang bila salah menggoresnya di atas kanvas masih bisa ditutup dengan warna lain. Lantas dilukis kembali. Lain halnya dengan cat air. ”Salah sedikit saja, misalnya warnanya tak sesuai, sudah tak bisa diperbaiki lagi. Ambil kertas, buat ulang,” akunya.

Hingga kini, Nanang termasuk perupa Yogyakarta yang sangat setia dengan cat air. Banyak pertimbangan Nanang mengapa menggelutinya. Salah satunya daya tahan lukisan cat air tak berbeda dengan media lain. ”Asal memakai kertas yang bagus. Setelah selesai, dipoles dengan fixative biar lukisan awet,” ungkap ayah tiga anak itu. 

”Dengan cara itu, lukisan cat air tetap bagus bertahun-tahun. Pun kertasnya. Memang semua kertas, sebagus apa pun, kelak akan menguning. Namun kalau menggunakan kertas khusus, maka warna kuningnya tampak artistik. Kesannya vintage. Bukan mbulak seperti kertas biasa,” lanjutnya.

Buktinya bisa dilihat di Museum Fatahillah. Lukisan cat air pada zaman kolonial itu masih bagus dan awet. Meskipun kertasnya menguning, tapi warnanya tetap muncul. Termasuk lukisan cat air Tiongkok kuno dan Jepang yang usianya mencapai ratusan tahun,” kata mantan ketua Kolcai Yogyakarta itu.

Di antara objek yang ada, Nanang menggemari segala hal berbau heritage. Seperti dalam Sudut Hoping Cafe George Town, Penang, Malaysia. Karya itu dikerjakannya untuk International Art Camp yang mewakili Indonesia. Tampak gedung bertingkat dengan lalu-lalang mobil, kawasan pecinan dan aktivitas masyarakat yang mengendarai becak, maupun pedagang kaki lima.

Sudut Hoping Cafe George Town, Penang, Malaysia.
Sudut Hoping Cafe George Town, Penang, Malaysia yang eksotik karya Nanang Widjaya. (Foto: Nanang Widjaya untuk Harian Disway)

Pun bangunan di kawasan heritage Kota Lama Semarang yang akhir-akhir ini menarik hatinya. Ia biasanya on the spot bersama komunitas sketser seperti Komunitas Lukis Cat Air (Kolcai) atau Semarang Sketchwalk. Momen plen air di berbagai kota itu rutin Nanang lakukan. Ditemani istri yang biasa mengikuti aktivitasnya ke mana-mana hingga ke luar negeri. 

”Asyik banget kalau sudah bareng-berang begitu. Di mana saja, kita bisa belajar. Menikmati sisi sejarah, sekaligus menangkap aktivitas manusia sekitar. Sambil mengidentifikasi percampuran budaya yang selalu unik. Buat saya itu semacam rekreasinya para seniman, bikin happy,” pungkasnya. (Guruh Dimas)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: