Banyak Teman adalah Koentji…!

Banyak Teman adalah Koentji…!

Jaringan Warkop Nusantara (JWN) dan kedai Joyo 99 menjelma menjadi lingkaran komunitas. Lingkaran penikmat dan penyeruput kopi asli Indonesia.

SETYA Yudha Indraswara alias Ullil punya misi mengenalkan dan menanamkan rasa cinta pada kopi-kopi asli Nusantara. Karena itulah ia membentuk Jaringan Warkop Nusantara (JWN) sekira lima tahun silam. Organisasi—atau lebih tepatnya, perkumpulan—ini menjadi ajang bertemu para penggemar kopi. Ia menjadi tempat upaya edukasi aneka hal tentang kopi. Terutama yang asli Indonesia.

Dulu, JWN hanya punya basecamp di garasi rumah Ullil. Masih lesehan. Di situlah Ullil membangun jejaring.

Menurut alumnus SMAN 1 Malang (jurusan A3/Sosial) itu, masih banyak orang Indonesia yang belum tahu tentang kopi. Nah, lingkaran JWN itu diciptakan untuk saling bertukar ilmu secara cuma-Cuma. Sambil memperluas relasi.

Dari situlah lahir Joyo 99 sebagai bahan bakar untuk menggerakkan komunitas tersebut. Misalnya, untuk penyediaan alat dan tempat yang kini menjadi lebih nyaman.

Itu pula yang menjadi kunci kesuksesan Joyo 99. Ada 2017, Ullil diundang beraudiensi dengan Presiden Joko Widodo ke Istana Bogor. Tiga tahun setelahnya, ia juga diundang dalam acara Kick Andy. Semuanya terkait dengan geliat Ullil sebagai UMKM penggerak komunitas.

Luasnya koneksi dan jaringan pertemanan yang semula dibangun dari komunitas itu menjadi fondasi dan strategi untuk keberhasilan Kopi Joyo. “Marketing kami dari teman ke teman. Tanpa di-endorse. Dan terbukti bahwa ini bisa berjalan sampai sekian tahun dan masih bertahan,” kata penggemar klub sepak bola Liverpool tersebut.

Kabar tentang kopi tubruknya yang gratis juga sudah tersebar di masyarakat. Nah, kalau gratis terus, untungnya dari mana?

Itulah kejelian bisnis Ullil. Meski terbilang kecil, bisnisnya sudah punya skema dana sosial. Ini memang salah satu buah pengalaman Ullil yang pernah menjadi staf CSR sebuah perusahaan telekomunikasi.

Ullil melihat potensi sosial dari penyusutan biji kopi yang terjadi setelah disangrai. “Kopi sekilo, kalau dari biji mentah, akan susut setelah disangrai. Rata-rata 20 persen,’’ katanya. Artinya, sekilo kopi mentah hanya akan menjadi 800 gram setelah disangrai. Dari sisa 800 gram ini, yang dijual 500 gram atau setengah kilo. ’’Sisanya, 300 gram, dimasukkan ke sosial,’’ kata Ullil.

Tapi bukankah kopi gratis itu tetap ’’buang duit’’? ’’Orang-orang itu kalau minum, seberapa banyak sih ngopinya? Tapi, efeknya, dia ngomong ke orang lain. Kaya MLM. Ada yang datang, eh, ngajak temen. Sederhana, tapi multiplier effect,’’ ucap lelaki berkacamata itu.

Aktivitas peracikan kopi di kedai milik Setya Yudha Indraswara.
(Foto: Jessica Ester untuk Harian Disway)

Tentu tidak semua menu di kedai milik Ullil gratis. Ada juga menu-menu selain kopi tubruk yang berbanderol. Tetapi, itu pun terbilang masih murah. Ullil mengakui bahwa margin keuntungannya tipis. Namun, ia masih hidup karena volumenya yang besar. Banyak teman, banyak volume.

Kini, Ullil masih kukuh menjadikan usahanya bergaya tradisional apa adanya. Namanya tetap warung kopi. Warkop. Itu karena Ullil senang dengan ide percakapan warkop. Yaitu, bebas dan bisa membicarakan apa saja. “Sekarang, orang dikit-dikit ribut. Artinya ada percakapan dan komunikasi yang nggak nyambung, nggak lancar,’’ katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: