Membawa yang Hilang, Kembali
![Membawa yang Hilang, Kembali](https://www.disway.id/uploads/post/2021/09/18/Candi Penataran di Masa Lalu.jpg)
”Padahal dengan bergiat bersama akan melatih kemampuan bersosialisasi manusia. Jika semua dilakukan sendiri-sendiri, tiap orang dalam anggota masyarakat akan berubah menjadi seorang individualis. Tak peka dan tak peduli sekitarnya. Semangat gotong-royong pun akan menjadi sekadar filosofi masa lalu,” lanjutnya.
Sentuhan kebudayaan itu makin menguat sejak Augustinus mendalami arsitektur. Ilmu itu diterapkannya guna menyampaikan pesan tentang kebudayaan. Bahkan ditegaskan sebagai misinya dalam melukis. Tak hanya untuknya, melainkan kepada para mahasiswanya di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
”Sebagaimana yang telah saya pelajari semasa kuliah, saya mengajarkan teknik menggambar dengan cat air pada para mahasiswa. Kebetulan saya mengampu mata kuliah gambar teknik dan presentasi arsitektur. Dalam mata kuliah itulah mereka saya ajarin dari dasar,” ungkapnya.
Ki Manteb Sudarsono (Augustinus Madyana Putra untuk Harian Disway)
Selama aktif mengajar itulah, Augustinus juga intens menggambar. Tak hanya bangunan, ia mulai merambah ke lukisan-lukisan bertema kebudayaan. Kebetulan, kebudayaan memang diakrabi Augustinus sejak kecil. Terutama tentang wayang dan kegemarannya terhadap segala hal terkait heritage.
Jadilah lukisan tokoh Punakawan, Bathara Guru, Begawan Abiyasa, dan lain sebagainya. Pun tentang dalang yang memainkan wayang. Augustinus hendak menyampaikan pesan, pentingnya menjaga kebudayaan luhur masyarakat Jawa. ”Filosofi wayang dan segala petuah hidupnya mampu membentuk karakter pribadi seseorang menjadi lebih baik,” tegasnya.
Menurut Augustinus, melukis juga sarana menuangkan imajinasi. Sarana menghadirkan memori lama yang eksistensinya di dunia nyata telah sirna. Bahkan yang tinggal puing-puing belaka. ”Dengan melukis, saya menghadirkan kembali ingatan masa lalu. Ingatan yang tak mungkin dibangun atau dilihat di dunia nyata. Seperti bangunan-bangunan tempo dulu,” ujarnya.
Lewat lukisan, Augustinus ingin mencoba menguatkan kekuatan-kekuatan lokal yang semakin ditinggalkan banyak orang modern. ”Saya menggali kebanggaan pada kehidupan yang kita miliki dulu. Dari sejarah, tradisi, dan hal-hal yang sebenarnya istimewa tapi luput dari perhatian orang,” ungkapnya.
Lukisan Candi Penataran di Masa Lalu menunjukkan sisi imajinatif Augustinus itu. Tentang peribadatan dalam candi yang dibangun pada era Kerajaan Kediri. Ia mengurai aktivitas masyarakat masa lalu lewat para petinggi kerajaan. Berikut para ksatria yang duduk tepekur mendengarkan sabda Sri Aji Jayabhaya, Raja Kediri, yang termasyhur itu.
Taman Sari Yogya (Augustinus Madyana Putra untuk Harian Disway)
Semua figur dicitrakan mengenakan selempang kain putih. Beberapa bendera panjang menjulang berwarna-warni. Candi Penataran dalam lukisan Augustinus begitu megah. Plus bias hijau yang menggambarkan suasana luar candi dalam kepungan pepohonan. Nuansa samar ditorehkan untuk memperoleh citra sudut pandang sebuah tempat yang jauh.
Sementara lukisan berjudul Taman Sari Yogya mengingatkan akan bangunan yang pernah terpasang di sana. Sayang menghilang. Berubah menjadi pemukiman warga. Menyisakan puing-puingnya saja. ”Air mancurnya tak ada lagi. Dengan melukisnya saya membawa penikmat menyusuri lorong waktu silam. Ketika deras air mengucur dari lubang dindingnya,” bebernya.
Wajah Lama Stasiun Tugu Yogya (Augustinus Madyana Putra untuk Harian Disway)
Bentuk bangunan tempo dulu Stasiun Tugu Yogyakarta, tak luput menjadi objek tangkapannya dalam berkarya. Lengkap dengan kereta api kuno. Berjudul Wajah Lama Stasiun Yogya. ”Sekarang sudah direnovasi. Bentuknya bagus. Sekali lagi, hanya lewat lukisanlah saya bisa menghadirkan kembali kenangan bentuk arsitektur atau segala yang lalu dan dulu itu, kembali,” tandasnya. (Guruh Dimas)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: