Membawa yang Hilang, Kembali

Membawa yang Hilang, Kembali

Dasar ilmu arsitektur diterapkan Augustinus Madyana Putra saat berkarya dalam bidang seni rupa. Melaluinya, ia dapat menghasilkan gambar dengan teknik perspektif yang baik. Di balik itu, ia menyampaikan pesan tentang kebudayaan.

Sebagian besar lukisan Augustinus menggunakan media cat air. Ia telah mengakrabinya sejak di bangku kuliah di Program Studi Arsitektur di Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. ”Mengerjakan gambar bangunan itu paling cepat pakai cat air. Tapi memang perlu waktu untuk membiasakan diri menggunakannya,” ujarnya.

Augustinus mengibaratkan pemakaian cat air bagai membutuhkan komunikasi tiga arah. Antara warna, air, dan bidang -bisa kertas atau kanvas-. Ketiganya itu tentu saja mengandung konsekuensi. Hasil torehan warna dari cat air tak dapat dikoreksi. Itulah mengapa menggunakan cat air butuh kecermatan dan kehati-hatian. Karena sifatnya tak terduga.

”Kadang membias dan sering kali membentuk paduan warna yang tak bisa ditentukan. Lain dengan cat minyak atau akrilik. Warna putihnya memanfaatkan putih kertas atau kanvas. Jadi kita harus teliti dan hati-hati. Pandai membuat keputusan. Langkah menggoreskan kuas, mencampur air atau memperkirakan sisi biasnya,” tuturnya, antusias.

Legong Dance (Augustinus Madyana Putra untuk Harian Disway)

Bahkan bagi Augustinus, cat air punya keasyikan yang menggairahkan. Dengan cat air, sangatlah memungkinkan menangkap sebuah gerakan. Dalam istilahnya catching the motion. Simak saja dalam lukisannya berjudul Legong Dance. Augustinus berhasil menambahkan efek bias dalam proporsi sang penari.

Sehingga mengesankan impresi gerak di tengah gaya lukisan realisnya. ”Jadi, dalam lukisan itu ada gerak. Kita bisa menangkap gerak atau membekukan gerak. Mungkin bisa kita lakukan dengan media lainnya. Tapi saya rasa, jika menggunakan cat air, lebih menantang,” ujar perupa yang berdomisili di Bantul, DI Yogyakarta itu.

Dengan cat air pula, ia menangkap realitas atau mengimajinasikan bentuk yang tak lagi bisa ditemui. Sumber dokumennya bisa dari mana saja. Di antaranya terinspirasi film. Seperti dalam film yang dibintangi pelawak Basiyo asal Yogyakarta berjudul Basiyo Mbecak. Augustinus lantas menautkan produk rekaman pelawak yang meninggal pada 1977 itu dalam lukisannya.

Sebenarnya, lewat film itu, Augustinus hendak mengungkap fenomena masa lalu. Ketika becak masih berjaya. Ketika Basiyo sebagai penarik becak tampak jual maal dengan memasang tarif tinggi kepada calon penumpangnya. ”Sekarang hal itu sudah enggak ada lagi kan di beberapa kota. Becak perlahan-lahan terpinggirkan oleh sarana transportasi lainnya,” ujarnya.

Jual Mahal (Augustinus Madyana Putra untuk Harian Disway)

Keresahannya itu terabadikan dalam karya berjudul Jual Mahal. Tampak pengemudi becak memunggungi orang yang ingin memakai jasanya. Seakan memuat perbincangan yang tak seimbang. Si calon penumpang tampak mengeluh ingin naik becak dengan harga pantas. Sedangkan si pengayuh tak memedulikannya.

Menurut Augustinus, banyak hal berharga yang dapat ia tangkap saat melukis. Lantas menjadi refleksi yang berguna bagi cara pandangnya. Utamanya tentang kebudayaan yang telah terkikis atau kebiasaan di tengah masyarakat yang perlahan-lahan sirna ditelan perkembangan zaman.

Dalam beberapa lukisan ia menggambarkan pasar dengan aktivitas perbelanjaan. Lalu-lalang orang membawa barang dagangan, kegiatan tawar-menawar, atau jual-beli. ”Sekarang orang-orang sudah mulai gemar belanja online. Bisa saja kelak segala aktivitas di pasar itu akan sulit kita temui. Banyak hal-hal di masa depan yang menghilang,” katanya, prihatin.

Augustinus Madyana Putra

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: