Melacak Perobek Bendera Belanda di Hotel Yamato
VERSI kisah perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato yang diperingati kemarin (19/9) banyak sekali. Terutama soal sosok yang merobek bendera Belanda menjadi Sang Saka Merah Putih.
Dua tahun lalu, pendiri Komunitas Roode Brug Soerabaia Ady Setyawan minta pemkot mengadakan seminar untuk menyudahi perdebatan itu. Ia khawatir fakta peristiwa penting tersebut makin terdistorsi jika dibiarkan terus-menerus. ”Sebenarnya sudah ada yang mengusulkan pembahasan itu tahun 70-an. Sampai sekarang tetap belum terlaksana,” kata Ady kemarin.
Sosok yang mengusulkan itu adalah Pimpinan Pasukan Berani Mati Jibakutai Budi Tjokrodjojo. Pada 27 Juli 1973, Budi menulis artikel di Madjalah Merdeka. Ia menumpahkan perasaannya terkait banyaknya kisah tentang perobekan bendera itu.
Ada buku yang menuliskan bahwa insiden perobekan bendera dipelopori gerakan tukang becak. Budi yang menjadi saksi sejarah menegaskan bahwa itu tidak benar sama sekali.
Ia mempertanyakan sikap para pemimpin yang duduk di instansi militer atau sipil di pusat maupun daerah kala itu. Para pemimpin partai, pemimpin lembaga penerangan, pendidikan, sejarah, dan pemangku kebijakan lainnya juga tak tertarik dengan pembahasan sejarah tersebut. Tidak ada inisiatif untuk mengungkap fakta perobekan bendera tersebut.
”Seperti kurang mengerti atau sadar bahwa peristiwa ini tidak bisa meletus atau terjadi jika tidak ada yang merencanakan dan melaksanakannya. Peristiwa ini bukan bikinan angin atau perbuatan jin-jin,” tulis Budi dalam Madjalah Merdeka pada 27 Juli 1973.
Tak lama setelah insiden itu, ada ratusan orang yang mengaku ikut naik ke menara Hotel Yamato. Beragam versi muncul dari ratusan memoar tersebut.
Ady menilai pemerintah perlu meluruskan fakta peristiwa tersebut. Dengan begitu, het vlag incident tidak diperingati dengan keliru setiap tahun. ”Ini seperti peringatan HUT Surabaya yang juga dipermasalahkan banyak orang,” lanjut alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, itu.
HUT Surabaya yang dirayakan setiap 31 Mei ternyata salah kaprah. Pemkot menetapkannya berdasar asumsi dan kajian yang data otentiknya belum ada. Namun, tanggal itu justru tetap dipertahankan sampai sekarang.
Ady minta pemkot lebih memperhatikan sejarah kota agar peringatan peristiwa bersejarah tidak keliru. Termasuk peristiwa perobekan bendera yang diperingati dengan pertunjukan drama kolosal hampir setiap tahun itu. Tadi malam pemkot juga merilis film tentang perobekan bendera tersebut di kanal Youtube Bangga Surabaya.
Ady sudah mengumpulkan memoar dari orang-orang penting yang menjadi saksi peristiwa itu. Di antaranya, mantan Menteri Luar Negeri dan Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani, Komandan Polisi Istimewa M. Jasin, Pimpinan Pasukan Berani Mati Jibakutai Budi Tjokrodjojo, Pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) Bung Tomo, pejuang muda Sudi Suyono, hingga serdadu Belanda berpangkat sersan: Lou Balls.
Dari sejumlah kesaksian itu, nama mengerucut pada Harijono dan Koesno Wibowo. Namun, dua nama itu tidak dipublikasikan secara gamblang oleh pemerintah.
Mayor Jenderal TNI (purn) Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik menulis dalam memoarnya bahwa Harijono dan Koesno Wibowo sebagai sosok yang rendah hati. Setiap menghadapi wartawan, mereka tidak memberikan jawaban pasti. Jawaban mereka khas orang Jawa Timur yang tak mau menonjolkan diri. ”Perobeknya bukan saya, tapi arek-arek Suroboyo,” tulis Hario dalam memoarnya. (Salman Muhiddin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: