Ungkap Pasemon Hidup dengan Santai

Ungkap Pasemon Hidup dengan Santai

Paguyuban Budaya Sekar Kawedhar aktif macapatan atau menembangkan syair-syair Jawa. Pelestarian seni tradisi yang mengandung filosofi adi luhung. Di masa lalu macapat menjadi pitutur atau penyampaian nasihat, bahkan dakwah.

Berawal dari kesadaran beberapa orang untuk nguri-uri budaya Jawa, atau melestarikan budaya luhur warisan turun-temurun. Mereka kerap berkumpul untuk macapatan. Menyanyikan atau menembangkan syair berbahasa Jawa.

”Karena sama-sama suka dan sering mengadakan acara macapat, kami sepakat membentuk Paguyuban Budaya Sekar Kawedhar,” ujar Bambang E.S, salah satu dari 15 pendiri.

Ambal warsa atau perayaan ulang tahun ke-17 Sekar Kawedhar. Dilaksanakan pada hari minggu, 29 Agustus lalu. Di sebuah desa yang asri di Sidoarjo, Jawa Timur. Letaknya cukup jauh dari pusat kota.

Jika dari Terminal Bungurasih, menelusuri jalan raya arah barat yang biasanya dipakai sebagai akses utama transportasi antar kota, kurang lebih tujuh kilo, kemudian belok kiri arah Puspa Agro. 

Dari Puspa Agro jaraknya sekitar 1,2 km untuk sampai tujuan. Paguyuban Budaya Sekar Kawedhar menyelenggarakan kegiatan macapatan di sebuah rumah yang juga warung pecel, milik Bu Damun, salah satu anggota mereka. Lokasinya cukup asri. Dekat dengan areal persawahan. 

Sebagai pengusaha kuliner pecel, tentu hidangan yang tersedia adalah nasi pecel yang disajikan di atas wadah bambu dengan hiasan alas selembar daun pisang. Sungguh makanan tradisional yang menggugah selera. Apalagi disantap usai menembangkan syair-syair Jawa.

Brama Iswara, ketua Paguyuban Budaya Sekar Kawedhar dan Winarto, ketua 3, saat pemotongan tumpeng perayaan ulang tahun ke-17 paguyuban. (Rizal Hanafi/Harian Disway)

Mereka yang hadir di tempat itu berjumlah sekitar 20 orang. Sebagian besar berpakaian ala warok Ponorogo. Mengenakan kaus dalam bergaris-garis merah-putih dan ditutup dengan rompi hitam panjang. Celananya pun hitam. Ikat pinggangnya tali putih berpilin tipis. Tapi ada juga yang ikat pinggangnya cukup besar mirip tali tampar.

Beberapa orang mengenakan kemeja batik dengan sarung jarik. Para perempuan yang datang juga dengan pakaian Jawa mereka masing-masing. Salah satu dari mereka memegang buku bersampul kuning bertuliskan ”Macapat”. Di dalamnya berisi beberapa syair Jawa yang hendak ditembangkan.

Sebelum kegiatan dimulai, para anggota Sekar Kawedhar duduk di sebuah karpet yang disiapkan oleh tuan rumah. Para sesepuh, utamanya senior dari paguyuban tersebut berada di dinding sebelah kanan, dengan latar hiasan kepala reog dengan bulu burung merak yang menjuntai ke atas. Di atas kepala reog tersebut, terdapat gambar garuda pancasila. 

Bambang kemudian mengambil pelantang dan mulai berbicara. Mmantan penyiar radio RPTK, Sidoarjo itu memberi pengantar dengan gaya tutur yang elok. Ulasannya diselipi dengan humor-humor ringan sehingga membuat suasana menjadi tak tampak terlalu formal. Gayeng dan santai.

Bambang melakukan kilas balik perjalanan paguyuban mereka. Diawali pada 1999. Saat itu banyak diselenggarakan acara-acara macapatan di stasiun radio RPTK Sidoarjo. Channel-nya masih AM. Kini telah FM dan berganti nama menjadi Suara Sidoarjo.

Orang-orang yang terlibat dalam acara macapat di tahun 1999, membentuk paguyuban yang diberi nama Sekar Kawedhar. Sekar berarti bunga, Kawedhar berarti tersebar luas. Maknanya, sebuah warisan budaya yang harum dan terus dilestarikan di tengah-tengah masyarakat. 

Tak hanya macapat, tapi paguyuban tersebut juga melestarikan kesenian lainnya, seperti campursari, wayang kulit, ludruk dan keroncong. Dalam perjalanan, Paguyuban Budaya Sekar Kawedhar banyak mendapat undangan ketika masa kepemimpinan Win Hendrarso, Bupati Sidoarjo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: