Hadirkan KBO Satnarkoba, Berselisih soal SOP

Hadirkan KBO Satnarkoba, Berselisih soal SOP

MASIH saksi yang dihadirkan. Kali ini Dwi Hartanto. Ia adalah kepala bagian operasional (KBO) Satnarkoba Polrestabes Surabaya. Ia memberikan keterangan dalam kasus tiga polisi yang sedang pesta sabu-sabu. Mereka adalah Iptu Eko Julianto, Aipda Agung Pratidina, dan Brigpol Sudidik.

Di persidangan itu, Dwi mencabut berita acara pemeriksaan untuk poin 9. Ia merasa oin tersebut tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Ia hanya mengetahui adanya penguasaan barang bukti dari tersangka Eko Julianto.

”Saya tidak mengikuti penggeledahan di Midtown maupun di kantor. Keterangan itu sudah saya konfirmasi ke penyidik, yakni Mas Faruk. Waktu itu saya kaget juga, saya tidak mengetahui. Keterangan saya di BAP nomor 9 saya cabut," katanya dalam persidangan beberapa waktu lalu.

Di persidangan, Dwi menjelaskan bahwa penyidikan harus berdasar peraturan Kapolri (perkap) dan standard operating procedure (SOP). Perkap itu mengatur barang bukti yang sudah ada tersangkanya. Beda halnya dengan SOP. Hanya menyangkut barang temuan.

Atau barang bukti yang tidak ada atau belum ada tersangkanya. ”Ada nota dinas yang ditujukan kepada para kepala unit untuk mengorganisasi seluruh barang bukti. Baik itu ada tersangkanya maupun yang tidak ada tersangkanya. Semua unit di Polrestabes Surabaya melakukan semua SOP,” lanjutnya.

Barang bukti yang masuk ke KBO biasanya sudah dibungkus di sebuah amplop. Lalu, disegel merah. Dilengkapi dengan tanda terima, copy surat penyitaan, dan berita acara penyitaan barang bukti tersebut.

”Anggota tidak boleh menyimpan barang bukti untuk kepentingan pengembangan perkara. Apabila tidak sesuai SOP, anggota yang membawa barang bukti tersebut dikenai saksi kode etik,” ungkapnya.

Aturan itu berlaku untuk semua. Tidak terkecuali kepala unit (kanit). Kanit boleh menyimpan barang bukti tersebut, tapi hanya sementara. Setelah itu, harus diserahkan kembali ke penyidik. Sebab, kanit bukanlah penyidik.

Itu pun, kanit hanya bisa menguasai barang bukti tersebut tidak boleh lewat satu hari. Kanit juga tidak memiliki kewenangan untuk membawa barang bukti keluar kantor. Dalam kasus tersebut, Eko tidak hanya masuk tindak pidana penguasaan narkotika, tapi juga menyalahi administrasi.

"Bisa administrasi bisa pidana, dua-duanya," katanya.

Ditambahkan Dwi, administrasi yang terjadi adalah Eko tidak menyerahkan barang bukti sabu-sabu tersebut ke penyidik. Sementara itu, golongan tindak pidananya ialah terdakwa membawa sabu-sabu itu keluar dari ruang kerjanya.

Di sisi lain, Iptu Eko merasa tidak semua jawaban Dwi benar. Eko menegaskan, barang bukti yang dirinya pegang dalam kasusnya itu sudah memiliki LP (laporan polisi). ”SOP di Polrestabes Surabaya tidak menyebutkan barang temuan yang tidak ada LP,” bantah Eko.

Kedua, SOP di Polrestabes Surabaya dinilai Eko rancu dengan perkap. Sebab, barang temuan atau barang yang sudah ada LP serta ada tersangkanya harus disimpan di brankas. Brankas itu berada di ruang kepala satuan atau ruang KBO. Itu poin yang menurutnya rancu.

"Itu salah Yang Mulia. Untuk barang bukti yang sudah ada LP-nya atau sudah ada tersangkanya seharusnya disimpan di tahti. Bukan di satnarkoba. Namun, kenyataannya tidak di Satreskoba Polrestabes Surabaya,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: