Membangun Harapan di Papua
PEKAN Olahraga nasional (PON) XX yang sedang berlangsung di Papua membawa banyak misi. Tidak sekadar multieven olahraga empat tahunan. Kalau perhelatan akbar itu digelar di provinsi lain, tentu sudah biasa. Tidak terlalu istimewa. Tapi ini di Papua. Untuk kali pertama PON diadakan di provinsi paling timur di Indonesia itu.
Maknanya begitu besar. Di tengah pandemi Covid-19, event olahraga terbesar di Indonesia itu berhasil diselenggarakan. Juga di tengah ancaman kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang beberapa pekan terakhir bikin rusuh di sana.
Pembukaan PON sudah sukses digelar. Begitu meriah untuk ukuran pandemi. Bahkan menurut Ketua Panitia Asian Games 2018 Erick Thohir, pembukaan PON XX Papua lebih hebat daripada pembukaan Asian Games. Tidak hanya membanggakan bagi orang Papua, tetapi juga membuat seluruh rakyat Indonesia bangga.
Untuk sukses ini, saya harus memuji Presiden Jokowi yang tidak pernah surut untuk tetap menggelar PON. Sempat ada desakan untuk kembali menunda PON yang seharusnya diadakan 2020 itu. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya bila PON XX kembali diundur.
Stadion Papua Bangkit yang berubah nama menjadi Stadion Lukas Enembe disebut Jokowi sebagai stadion terbaik di Asia Pasifik. Stadion itu memang sangat megah. Terbesar kedua setelah Stadion Utama Gelora Bung Karno di Senayan, Jakarta. Jokowi akan dikenang masyarakat Papua meskipun nama stadionnya memakai nama gubernur Papua. Seperti halnya Gus Dur yang selalu dikenang oleh masyarakat Papua karena membangun perbatasan RI-Papua Nugini yang membuat Indonesia terasa lebih maju daripada negara tetangganya itu.
Lihatlah stadion akuatik yang berada di samping Stadion Lukas Enembe. Mewahnya luar biasa. Pengurus PRSI sampai tidak percaya venue untuk akuatik di Papua setara dengan yang ada di Jakarta. Hanya Jakarta dan Papua yang punya stadion akuatik semegah dan semodern itu.
Lihat pula kompleks stadion atletik di Timika, Mimika. Stadion dan GOR di Timika dibangun oleh PT Freeport Indonesia di atas tanah milik Pemkab Mimika. Lapangan basketnya standar FIBA. Stadion atletiknya juga lebih keren daripada Stadion Madya, Senayan. Sepuluh kali lebih keren daripada lapangan THOR di Surabaya. Dua tahun lalu saya sudah mencoba berlari di lintasannya yang empuk itu. Sehari-hari stadion atletik itu dirawat oleh Yulius Uwe, mantan atlet nasional Dasalomba yang sampai saat ini masih memegang rekor nasional.
Dengan terselenggaranya PON XX, rakyat Papua semakin merasa menjadi bagian dari Indonesia. Mereka memiliki fasilitas olahraga yang lebih baik dari provinsi lain di Indonesia. Jawa Timur saja kalah jauh. Nasionalisme dan juga persatuan bisa terbangun dari ajang PON. Dan memang untuk itulah PON diadakan.
PON di Papua diadakan di tiga kluster: Jayapura, Mimika, dan Merauke. Selain membangun fasilitas olahraga berstandar internasional di tiga daerah itu, pemerintah juga mengalokasikan banyak anggaran untuk membangun infrastruktur di sana. Terutama jalan. Banyak fasilitas olahraga baru yang dibangun dengan membebaskan hutan di Papua. Diperlukan akses jalan yang memadai untuk mencapai venue-venue tersebut.
Makanya jangan heran bila Papua berubah dalam beberapa tahun terakhir. Itu semua berkat PON XX. Tanpa PON, semua infrastruktur baru itu rasanya belum tentu bisa terwujud.
Tantangan ke depannya adalah pemeliharaan dan pemanfaatan venue-venue itu setelah PON selesai. Sudah banyak contoh daerah yang pernah menjadi tuan rumah event olahraga besar tidak bisa memelihara aset mahal tersebut.
Sumatera Selatan sebenarnya adalah provinsi yang beruntung karena pernah menjadi tuan rumah PON XVI/2004, SEA Games 2011, dan Asian Games 2018. Tapi lihatlah yang terjadi di Jakabaring Sport City di Palembang. Setahun setelah Asian Games, berita tentang kompleks olahraga megah itu mengenaskan. Tidak terawat. Mungkin kepala daerahnya tidak merasa harus merawat karena dulu banyak dibangun oleh dana dari pusat.
Ini yang tidak boleh terulang di Papua. Perawatan stadion-stadion mewah di Papua tidak murah. Dulu Imam Nahrawi, saat masih menjadi Menpora sudah memulai dengan membentuk badan pengelola untuk fasilitas olahraga baru itu. Badan pengelola itu yang bertanggung jawab merawat kompleks Stadion Papua Bangkit.
Masalahnya Papua bukan Jakarta. Stadion Gelora Bung Karno bisa disewakan Rp 650 juta per hari. Lha kalau Stadion Luka Enembe, apakah mungkin dibanderol dengan harga segitu. Siapa yang akan memanfaatkannya. Lalu, bila tidak dimanfaatkan, untuk apa stadion itu nantinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: