Anak dan Istri Pun Bernama Baru

Anak dan Istri Pun Bernama Baru

Wedda Jaya Sampurna diperkirakan disusun oleh leluhur pemeluk kepercayaan tersebut pada ’1900an. Selain menerangkan babagan agama, buku yang ditemukan di daerah Kawi, Malang itu menyebutkan pembagian wilayah administratif yang masih menggunakan tata cara kolonial.

Selebihnya, Wedda Jaya Sampurna menerangkan tentang Pal Sri Sadana. Yakni tabel yang digunakan sebagai perhitungan waktu. ”Menentukan hari serta waktu yang baik berdasarkan hari pasaran dan sebagainya,” ungkap ayah delapan anak tersebut.

Pakaian adat Jawa yang dikenakan Legino juga merupakan ketentuan yang tertulis dalam Wedda Jaya Sampurna: Wong agama Budda Jawi Wisnu yen arep semedi kudu sing reresik dhisik. Kayata kudu adus, sikile uga kudu sing resik, sandhangane uga kudu sing resik, wong wadon uga kudu dandan sing becik, wedak pupuran, nganggo kang wangi-wangi, kembang utawa liyane.

Artinya, seseorang jika akan bersemadi harus bersih dulu. Seluruh tubuh harus bersih, juga pakaian yang dikenakan. Pemeluk perempuan harus berdandan yang rapi, mengenakan bedak, wewangian, bunga dan lain-lain.

”Bahkan ketika menjabarkan ajaran, pakaian sebaiknya rapi seperti ini. Berpakaian Jawa. Karena yang akan diwedarkan adalah ajaran suci,” ungkapnya.

Keseharian Legino Marto Wiyono di rumahnya, di Jalan Bratang Gede III-i, Surabaya. (Rizal Hanafi/Harian Disway)

Sedangkan kitab Angger-angger Soho Wewaler Agami Budda Jawi Wisnu ditulis langsung oleh Resi Kusumodewo. Berisikan tata cara peribadatan, juga beberapa bait syair tentang Sabdo Palon, tokoh terkemuka pada era akhir Majapahit yang dipercaya sebagai pamomong tanah Jawa. Jelmaan Batara Ismaya yang mengayomi seluruh masyarakat.

Siang itu, pada 1980, Resi Kusumodewo dengan tenang mengajarkan Budda Jawi Wisnu kepada semua pemeluk yang hadir. Juga tentang pin cakra serta kedua kitab tersebut.

Resi Kusumodewo merupakan tokoh yang mendirikan Budda Jawi Wisnu serta membentuk struktur kepengurusannya. Cukup sulit menemui resi karena tempat tinggalnya berpindah-pindah.

Setelah diresmikan pada 25 November 1925 di Kampung Malang, Resi Kusumodewo mendapat wahyu dari Tuhan untuk berpindah-pindah. Mulai di Bangil, Pasuruan, sekitar tahun 1930, kemudian pindah ke Banyuwangi, Malang, Solo, Ngawi, Magetan, Lamongan, Gresik hingga sampai dan menetap di Kusumo Sari, Madiun.

Kegiatan berpindah-pindah tersebut dalam rangka mengumpulkan dan menyapa para pemeluk Budda Jawi Wisnu. ”Perhentian terakhir Romo Resi di Jalan Kusumo Sari, Madiun,” ungkapnya.

Bertemu saja sudah senang rasanya. Apalagi diberi nama baru. Itu yang dirasakan oleh Legino beserta istri dan anaknya. Ketika pulang, beberapa penganut datang kepadanya dan bertanya, ”Kok hanya sampeyan yang mendapat nama baru? Kami kok tidak? Legino tertawa.

Saat itu ia belum begitu mengerti tentang pemberian nama baru tersebut. Namun ia yakin bahwa pemilihan nama tersebut berdasarkan perenungan spiritual. Hanya ditujukan bagi beberapa penganut.

Setelah siang itu, Legino kerap diajak resi untuk bersemadi di berbagai tempat. Khususnya di Gunung Kawi. Tempat wahyu Budda Jawi Wisnu diterima pertama kali oleh Resi Kusumodewo. Di tempat itu pula Legino bertemu Hyang Ismaya.

Tak hanya bersemadi, Legino kerap diajak ke berbagai tempat. Untuk menemui para penganut Budda Jawi Wisnu di berbagai daerah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: