Kisah Prof Mahfud tentang Mbok Miskin

Kisah Prof Mahfud tentang Mbok Miskin

Menko Polhukam Mahfud MD mengkritik tajam Polri di seminar virtual kemarin (7/10). Soal korban mafia tanah. "Dia ngadu ke polisi. Diusir karena dia mbok-mbok yang miskin," katanya.  

Harian Disway - LUGAS. Jelas. Padahal, Polri di bawah koordinasi Menko Polhukam. Dan, Mahfud tak segan mengkritik.

Mbok-mbok (seorang ibu, meski disebut jamak) korban mafia tanah itu diceritakan Mahfud di seminar nasional Peran Komisi Yudisial dalam Sidang Sengkarut Kasus Pertanahan secara virtual kemarin.

Kejadiannya, sebelum Mahfud jadi Menko Polhukam. Si mbok adalah tetangga Mahfud di Yogyakarta. Suatu hari, curhat ke Mahfud, begini: "Tiba-tiba di atas tanah dia sudah terbangun hotel."

Dilanjut: "Dia ngadu ke polisi. Diusir, karena dia seorang mbok-mbok yang miskin. Kata polisi: Pembangunan hotel itu sudah selesai, kamu lapor apa dasarnya?"

Lanjut: "Ngadu ke lurah, diusir juga. Datang ke saya, pada waktu itu saya belum Menko Polhukam. Saya komunikasikan ke pejabat setempat, ini (mbok) kan dulu sudah punya dan dia tidak merasa menjual, kok tiba-tiba sudah dikuasai pemilik hotel."

Barulah polisi mengurusnya. Meski saat itu Mahfud bukan menteri, tapi semua orang tahu, Mahfud mantan ketua Mahkamah Konstitusi. Juga, profesor hukum yang lurus dan galak. Sehingga berpengaruh terhadap penyidik polisi.

Mahfud mengatakan, mbok itu diusir polisi dan lurah lantaran dipandang miskin. Datang mengadu dengan berpakaian jelek. Bahkan, "Sudah ada preman yang sebelumnya membisiki para aparat untuk mengusir orang yang datang mengadu."

Mahfud: "Kita kasihan. Rakyat kecil mau ngadu. Tapi, karena dia pakaian jelek, orangnya ndak menjaga (penampilan) gitu. Dateng ke kantor polisi ngadu, 'Mau apa kamu', 'Saya mau ngadu tanah', 'Ndak usah ke sini, sudah selesai'."

Cerita mirip seperti itu mungkin ribuan. Mungkin jutaan. Beredar di masyarakat. Cerita-cerita itu tanpa efek sama sekali. Musnah ditiup angin. Tapi, kalau yang cerita Prof Mahfud, barulah spesial.

Jadi, rakyat kecil dan miskin yang jadi korban pelanggaran hukum, apakah harus mengadu ke rumah Mahfud? Seberapa besar energi Mahfud melayani semuanya?

Atau, apakah orang harus menjelma jadi tokoh sekaliber Mahfud agar kalau jadi korban kejahatan, pasti dilayani polisi? Terus, kapan terwujud equality before the law?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut memunculkan cerita masyarakat sehari-hari, bahwa banyak yang melapor ke polisi, menyebutkan, bahwa ia keponakan jenderal polisi A. Atau, ia sebut bahwa saudaranya polisi dinas di polda.

Sebaliknya, pelanggar hukum yang diperiksa pun, kepada penyidik, mengaku sebagai tetangganya jenderal B (biasanya, kalau tetangga kurang dihiraukan).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: