UK Petra Hadiahkan Pembebasan SPP
Menjadi jawara itu tidak mudah. Tetapi bagaimana bila pertama kali suatu kompetisi langsung menjadi juara? Pengalaman itu yang dirasakan Nicholaus Karanka Adinugroho. Ia menyabet emas pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XX di Papua.
RASA haru masih terpancar dari Nicholaus Karanka Adinugroho. Ia tidak menyangka bisa menyabet emas pada cabang olahraga (cabor) Wushu taoulo dui lian (berpasangan). Maklum baru pertama kali ia mengikuti ajang bergengsi PON.
Nico sapaan akrab Nicholaus Karanka Adinugroho berpasangan dengan William Ajinata. Yakni seniornya di Universitas Kristen (UK) Petra. Umur Nico terpaut 4 tahun lebih muda dibanding William. Tapi kekompakan mereka bisa uji.
Rasa kebersamaan itu timbul saat mereka dikarantina di KONI Jatim selama satu tahun. Tiap hari mereka berlatih bersama. Mulai dari bangun tidur, latihan sampai tidur lagi. ”Ya dari tempat itu kami jadi kompak,” kata laki-laki 20 tahun itu.
Rupanya kekompakan mereka benar-benar diuji saat bertanding. Ia mengatakan, tensi pertandingan sangat tinggi. Mereka tidak hanya berhadapan dengan atlet Wushu dari berbagai provinsi. Melainkan harus bisa menyesuaikan waktu di Papua yang terpaut 2 jam.
Kebiasaannya di pulau Jawa tidak bisa disamakan saat di Papua. Mereka harus bangun lebih pagi dari biasanya. Bahkan mereka juga harus bertanding pada malam hari. ”Awalnya tidak terbiasa. Tapi mau atau tidak harus dilakukan,” kata mahasiswa jurusan Business Management tersebut.
Nico menceritakan awal mula mengikuti wushu pada 2009. Ketika itu, ia diajak tantenya ikut latihan. Lama-lama Nico tertarik dengan olahraga asal Tiongkok itu. Bahkan ia juga pernah mengikuti berbagai lomba. Seperti kejuaraan nasional di Jakarta pada tahun 2015 lalu. ”Saat itu saya juga dapat emas,” kata warga Medokan itu.
Mulai dari juara itu, ia semakin semangat mengikuti turnamen. Bahkan saat Pra-PON 2019, ia berhasil melibas 15 saingannya di Jatim. Perolehan itu membuatnya semakin semangat untuk memperoleh kemenangan.
Emas yang didapatkan Nico juga yang pertama di PON. Begitu juga dengan PON Papua yang merupakan turnamen bergengsi pertamanya itu. ”Suatu saat saya pasti bisa menjadi atlet internasional,” kata mahasiswa semester 5 itu.
Berbeda dengan William yang pernah menjuarai kejuaraan terbuka di Malaysia pada tahun 2017. Ia juga pernah mengikuti PON IX pada tahun 2016. Sayangnya tidak ada medali yang diperolehnya.
William tertarik dengan wushu sejak umur 5 tahun. Ketika itu ia sering melihat film bela diri Kung Fu. Hingga suatu hari ia melihat wushu. Dari situ ia meminta ibunya untuk mengikuti bela diri tersebut.
Bagi William bela diri, yang ditekuninya memiliki seni sendiri. Seorang atlet harus bisa menguasai teknik menggunakan senjata serta membuat gerakan yang indah. Bahkan kemenangannya bersama Nico berdasar penilaian seni. ”Jadi kami bukan bertarung ya. Kami mempraktikkan seni pertarungan. Nilai kami 9,51 saat PON,” ujar laki-laki 24 tahun itu.
GERAK CANTIK cabang dui lian yang diperagakan WIlliam (kiri) dan Nicholaus ini mendapatkan nilai 9,51 di PON Papua.
(Foto: Nicholaus Karanka untuk Harian Disway)
Tangan kanan William tiba-tiba menekuk hingga membentuk sudut 90 derajat. Sedangkan tangan kirinya lurus searah tekukan tangan kirinya. ”Ini teknik nan quan (tinju selatan). Teknik ini kesukaan saya,” ujar laki-laki yang baru diwisuda pada tahun lalu itu.
Selain itu ada teknik salto. Serta nan gun (toya selatan). Semua teknik itu dikombinasikan. Sehingga membentuk gerakan yang indah. Mereka juga memakai golok dan tombak di area bertanding.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: