Bodoh

Bodoh

Harian Disway - GANJAR Pranowo, gubernur Jawa Tengah, boleh saja menjadi pemuncak dalam survei terbaru bakal calon presiden 2024. Namun, di mata sebagian pemilih milenial, Ganjar Pranowo dianggap bodoh karena tidak pernah berbicara mengenai narasi-narasi mutakhir seperti gender equality, society 5.0, atau human rights.

Setidaknya, itulah klaim yang disampaikan komentator politik Rocky Gerung. Bukan hanya Ganjar yang disebut bodoh, Ketua DPR RI Puan Maharani juga disebut bodoh oleh Gerung.

Dua tokoh itu sedang terlibat perang dingin karena dianggap saling bersaing memperebutkan tiket 2024 dari PDIP. Persaingan itu kemudian memunculkan istilah perseteruan banteng vs celeng untuk menyebut kader-kader PDIP yang membelot mendukung Ganjar.

Persaingan banteng vs celeng menjadi berita ramai di berbagai media. Kemunculan banteng dan celeng itu oleh beberapa pengamat politik dianggap sebagai trik marketing politik untuk mengerek elektabilitas dan popularitas Ganjar maupun Puan.

Bagi Rocky Gerung, munculnya fenomena persaingan banteng vs celeng justru dianggap sebagai kekonyolan politik. Ia bercerita mengenai perbincangannya dengan sejumlah anak-anak milenial yang mengatakan keheranannya dengan munculnya fenomena banteng vs celeng.

Anak-anak milenial itu, klaim Rocky, heran kepada ”om yang berambut putih kayak bintang film” dan Mbak Puan yang tidak pernah terdengar berbicara mengenai isu-isu terbaru yang sekarang tengah menjadi isu global seperti new kind of economy, kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan isu-isu kontemporer yang disebut Rocky sebagai ”new grammar of world’s politics”.

Karena itu, kata Rocky, menaikkan elektabilitas dengan isu-isu seperti banteng vs celeng adalah kekonyolan. Sebab, pada saat bersamaan para pemilih potensial malah menganggap Ganjar dan Puan bodoh. 

Lidah tajam Rocky sudah sangat dikenal. Ia tidak pernah segan menggunakan istilah dungu untuk menyebut orang-orang yang dianggapnya tidak bisa berpikir rasional, konseptual, dan proporsional. Sebutan dungu sudah menjadi trademark Rocky dalam debat-debat yang dilakukannya di berbagai forum.

Politikus Gerindra, Fadli Zon, tidak memakai istilah dungu atau bodoh untuk menyebut Jokowi. Ia memakai istilah ”plonga-plongo” sebagai gantinya. Sebutan itu tidak setelak dungu dan bodoh, tapi konotasinya tetap sama saja dengan dungu dan bodoh.

Fadli Zon juga menyebut Jokowi sebagai ”Prabu Kantong Bolong” karena dianggap tidak punya stature dan kredensial yang cukup untuk menjadi ratu di sebuah negeri. Dalam tradisi perwayangan, ada episode ”Petruk Dadi Ratu”.

Lakon itu menggambarkan Petruk –seorang punakawan yang biasanya menjadi pelayan para kesatria– tiba-tiba ketiban pulung menjadi ratu dengan gelar Prabu Kantong Bolong. Karena tidak punya kompetensi yang cukup sebagai pemimpin, Prabu Kantong Bolong melakukan banyak tindakan dan keputusan bodoh dan konyol.

Rocky maupun Fadli sama-sama membayangkan punya seorang ratu yang ”gung binantoro” penuh wibawa dengan ”prejengan” yang pantas sebagai ratu. Seorang ratu harus punya wawasan tinggi dan bisa berbicara mengenai narasi-narasi politik yang canggih. Tokoh-tokoh semacam itu yang sekarang belum kelihatan di antara nama-nama yang sering muncul di survei capres 2024.

Tidak semua presiden cerdas dan pintar. Logika seorang ilmuwan seperti Rocky dan Fadli tidak selalu menyambung dengan logika politik. Banyak politikus bodoh yang menjadi pemimpin, karena kebetulan, karena kecelakaan sejarah, atau karena punya uang.

Amerika Serikat (AS) sebagai negara kampiun demokrasi –yang sudah punya sejarah demokrasi panjang selama 250 tahun– tidak selalu mendapatkan presiden yang cerdas dan pintar. AS punya politikus berpikiran cemerlang seperti George Washington, Thomas Jefferson, Benjamin Franklin, James Madison, dan beberapa lainnya. Mereka adalah bapak bangsa yang merumuskan undang-undang dasar negara dengan dasar-dasar pemikiran intelektual dan filosofi yang kokoh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: