Sebab, Waria juga Manusia

Sebab, Waria juga Manusia

Waktu bersekolah, Shinta sudah dianggap sebagai wanita oleh para guru dan teman-teman. Ketika olahraga, Shinta juga diberikan aktivitas selayaknya seorang wanita. Ketika anak laki-laki bermain sepak bola, ia bermain kasti. Olahraganya juga separo lapangan. 

Shinta kemudian melanjutkan pendidikannya di Fakultas Biologi UGM. Ia memang kerap kali diperlakukan secara eksklusif karena ia terbuka sebagai seorang waria. Seperti waktu pengabdian di daerah Grobogan. Ia diberikan kamar tersendiri. Ia dikategorikan terpisah dari wanita dan laki-laki. 


Suasana asri yang terasa di lingkungan Pondok Pesantren Al-Fatah, Yogyakarta.
(Foto: JESSICA ESTER-HARIAN DISWAY)

Perangkat daerah, seperti Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) juga jadi “penasaran” dengan Shinta. Mereka menginterogasi Shinta dan ingin tahu lebih dalam tentang waria.

“Ketika mau menampilkan sesuatu yang tidak wajar dan berbeda, kita juga harus menerima risiko itu. Kita juga harus berani bertanggung jawab dan menerima reaksi-reaksi spontan dari orang-orang,” tutur Shinta.

Shinta memahami bahwa seringkali orang tidak memahami betul tentang waria. Sedari kecil, anak sudah diajar bahwa waria itu menyeramkan. Mereka jadi takut dan enggan bergaul dengan waria.   

Tak heran jika bermunculan stigma-stigma negatif dari masyarakat. Namun Shinta sadar, bahwa waria juga tidak dapat menyalahkan orang lain yang berpendapat seperti itu. Jika mendapat hujatan, Shinta tetap mempertahankan pikiran positifnya itu. 

Menurut Shinta, mereka yang menghujat belum mendapatkan informasi yang benar tentang waria. Orang yang memahami dan mendalami ajaran agama pasti akan menghormati ciptaan Tuhan yang lain. Memanusiakan manusia lain. “Untuk menurunkan stigma, kita (para waria) punya banyak PR,” tambah Shinta.

Shinta begitu gigih dan mengabdikan dirinya untuk menaikkan derajat waria. Selain memiliki kegiatan keagamaan, pesantren yang dibimbingnya juga sering mengadakan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan skill dan keterampilan para waria.

Al-Fatah menjadi “rumah aman” bagi para waria untuk melampiaskan hasrat spiritualnya. “Pondok pesantren ini menciptakan ruang nyaman bagi kawan-kawan waria untuk beribadah. Ketika kami beribadah di ruang publik ada ketidaknyamanan,” ucap Shinta. (Jessica Ester)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: