Sebab, Waria juga Manusia
Mereka adalah orang-orang yang terpinggirkan. Hak-hak esensial mereka kerap tidak bisa dilaksanakan dengan khusyuk lantaran menjadi insan yang berbeda. Mereka adalah waria.
TAMPILANNYA feminin, rambut hitamnya dicepol ke atas. Menampakkan giwang silver yang bergantungan di telinganya. Ia terlihat semakin anggun dengan dress hitam putih di atas lutut yang membaluti badan montoknya. “Mbak, mau mencari siapa?” sapanya dengan suara menye-menye, sambil memegang rokok di tangan kirinya.
Namanya Nur Ayu, waria pertama yang menyambut saya di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah. Semua santri di pondok pesantren ini adalah waria. Termasuk Ayu, yang berpenampilan layak wanita. Meskipun sejatinya ia terlahir sebagai lelaki.
Pondok pesantren khusus waria itu didirikan di Gedongtengen, Yogyakarta, pada 2008 oleh Maryani. Ia adalah waria sekaligus pembimbing pertama pesantren. Ide itu dicetuskan oleh Kiai Haji Hamrolie, seorang guru pengajian sekaligus teman Maryani. Agar tercipta ruang spiritual khusus untuk komunitas waria.
Dahulu, nama mereka adalah Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis. Sebab kegiatan pengajian berlangsung pada hari itu. Sebagai rasa terima kasih Maryani kepada KH Hamrolie, pada 2011 nama pesatren diubah menjadi Pondok Pesantren Waria Al-Fatah. Nama yang sama dengan pengajian milik KH Hamrolie.
Sejak berpulangnya Maryani pada 2014, pondok pesantren pun berpindah tangan kepada Shinta Ratri. Ia membimbing Al-Fatah hingga sekarang. Sejak kepemimpinan Shinta, Al-Fatah pindah rumah ke tengah wilayah legendaris Kotagede, Yogyakarta. Sebelumnya tempat itu milik eyang Shinta.
Al-Fatah hidup di sudut gang sempit yang hanya muat dilewati motor. Bangunannya serba hijau dan sederhana. Sebelum memasuki wilayah pondok pesantren, terdapat Salon Al-Fatah yang sempat dibuka para anggota untuk melakukan wirausaha. Sayangnya, usaha itu tutup sejak dihantam pandemi.
Fasilitas yang terdapat di Al-Fatah juga cukup lengkap. Ada kamar untuk para santri, aula untuk berkumpul, perpustakaan, ruang kelas, ruang rias, dapur, gazebo, dan peternakan kecil. Wilayah yang mewah dari Al Fatah hanya terlihat pada aulanya yang dipenuhi pernik-pernik berwarna-warni.
Saat ini, Al-Fatah memiliki 62 santri. Namun, hanya 8 orang yang menetap di sana. Sisanya, tersebar di rumah atau kos masing-masing di sekitar Yogyakarta.
Setelah melihat sekeliling pesantren, akhirnya saya bertemu dengan Shinta Ratri, pemimpin Al-Fatah. Ia selalu menggunakan pakaian yang tertutup. Jilbab dan dress panjang. Gaya dandannya lawas. Ala era 70-an.
Nama lahir Shinta adalah Tri Santoso Nugroho. Ia menemukan jati dirinya sebagai waria ketika duduk di bangku SMP. Ibu Shinta adalah orang pertama yang menyebutnya sebagai seorang wadam.
Shinta pun mengulik-ngulik tentang majalah yang meliput tentang wadam pada zaman itu. Dari situ, Shinta sepakat dengan perkataan sang ibu bahwa ia adalah seorang waria.
Shinta menerima kondisi dirinya dan tidak pernah menutupi jati dirinya itu. Seluruh keluarganya tahu dan tetap mendukung Shinta dalam kondisi apa pun.
“Penerimaan orang tua sangat berimbas langsung pada masa depan waria karena tidak perlu lari meninggalkan rumah, merasa aman, dan memiliki pekerjaan yang baik,” jelas Shinta. “Berbeda dengan waria yang tidak diterima di keluarga. Rentetannya panjang. Mereka pergi tanpa pendidikan, modal, dan perlindungan,” tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: