Komposer yang Juga Jurnalis dan Sastrawan

Komposer yang Juga Jurnalis dan Sastrawan

“Nasibkoe soedah begini
Inilah yang disoekai Pemerintah Hindia Belanda
Biarlah saja meninggal
Saja ichlas
Saja toch soedah beramal
Berdjoeang dengan tjarakoe, dengan biolakoe
Saja jakin, Indonesia pasti merdeka”

ITULAH perkataan Wage Rudolf Soepratman. Kalimat di atas merupakan surat wasiatnya sebelum wafat. Dibunyikan melalui pengeras suara di halaman belakang rumahnya, Jalan Mangga 21, Tambaksari.

Bangunan lawas dengan kombinasi warna kuning dan putih gaya Belanda itu menjadi tempat tinggal Soepratman. Kini dimuseumkan menjadi salah satu cagar budaya sejak 2018.  “Di situ kamar beliau,” kata Slamet Sugianto, seorang pemandu di rumah museum, sambil menunjuk ruang bagian depan. 

Di ruang itulah W.R. Soepratman terbaring mengembuskan napas terakhirnya pada 17 Agustus 1938 tepat jam 12 malam. Namun, ruang itu nihil benda sejarah. Semuanya telah diboyong ke Museum Sumpah Pemuda di Jakarta.

Yang tersisa di kamar pencipta lagu Indonesia Raya hanyalah biolanya. Itu pun bukan yang asli. Cuma replika yang diletakkan di dalam lemari kaca di pojok ruangan. Juga replikasi setelan jas putih, celana putih, dan kopiah hitam yang dikenakannya. Diletakkan di dalam lemari kaca di ruang tengah.

Sepuluh hari sebelum meninggal, Soepratman diringkus oleh Dinas Intelijen Politik (PID) Hindia Belanda. Yakni karena memimpin paduan suara di radio Nederlands Indische Radio Omroep (Nirom), Jalan Embong Malang. Membawakan lagu karangannya: Matahari Terbit.

Ia langsung dijebloskan ke penjara Kalisosok. Tapi, karena sakit-sakitan akhirnya dipulangkan ke rumahnya. Dirawat oleh kakaknya sendiri. Yaitu Roekijem Soepratijah dan Willem M. van Eldik hingga akhir hayatnya.

“Jadi beliau itu dianggap bahaya bagi pemerintah kolonial. Lagu-lagu ciptaannya membakar semangat orang-orang untuk memperjuangkan kemerdekaan,” ujar Slamet. Bahkan semasa hidup di Surabaya, Soepratman sering dikunjungi para tokoh dan sahabatnya. Mereka datang untuk mendengarkannya memainkan biola sambil bernyanyi lagu-lagu ciptaannya.

Lagu dan biola adalah alat perjuangan baginya. Gema Kongres Pemuda I tahun 1926 begitu menggugah rasa kebangsaan W.R Soepratman. Hingga mengilhaminya menciptakan lagu paling fenomenal: Indonesia Raya.

Lagu itu pun dibawakan pada Kongres Pemuda II di gedung Indonesisch Clubhuis, Kramat Raya 106, Menteng, Jakarta. Namun, pembawaan lagu itu tanpa lirik. Hanya alunan biola. Sebab, lirik lagu tersebut banyak mengandung kata “Indones, Indones”. Sedangkan, pada acara itu banyak tersebar mata-mata dari pemerintah kolonial. 

“Semua yang hadir terpesona. Konon, semua hadirin membungkukkan badan dan disambut tepuk tangan riuh di akhir lagu,” jelas Slamet. Pada kongres pemuda kedua itulah, lagu Indonesia Raya ditetapkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Bahkan, naskah lagu tersebut menyebar ke mana-mana dalam waktu singkat.

Replika Biola milik W.R. Soepratman.
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)

Sejarawan F.X. Domini B.B. Hera mengatakan, teks dan not balok lagu Indonesia Raya kali pertama dipublikasikan di majalah Sin Po. Majalah Tionghoa peranakan. Direkam kali pertama juga di perusahaan rekaman milik Tionghoa peranakan.

“Jadi di tengah segregasi kolonial yang serba rasial, lagu itu sudah menembus batas-batas rasial,” jelas Sejarawan asal Malang yang karib dipanggil Sisco itu. Menurutnya, publik mengenal sosok Soepratman hanya sebagai komposer lagu saja. Padahal, lebih dari itu. Soepratman juga merupakan sastrawan dan jurnalis.

Ia melanglang buana ke berbagai daerah. Pada 1924, Soepratman bekerja sebagai wartawan bahkan menjabat Pemimpin Redaksi koran Kaoem Moeda. Setahun kemudian berpindah ke Jakarta dan bekerja di kantor berita Alpina. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: