Potong Kepala

Potong Kepala

Harian Disway - IKAN membusuk dari kepala. Aktivis antikorupsi sangat paham adagium itu. Emak-emak yang suka belanja di pasar juga sangat paham akan hal tersebut. Untuk membedakan ikan yang segar dari yang busuk, tidak perlu mencium dan memeriksa seluruh badan ikan, cukup buka insangnya, kalau menghitam dan berbau busuk, sudah pasti seluruh tubuh ikan busuk.

Adagium itu sekarang menjadi viral karena dikutip oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang mengancam akan memecat anak buahnya yang tidak bertindak tegas terhadap berbagai pelanggaran bawahannya. Tidak tangung-tanggung, Kapolri menggunakan narasi yang seram, ”potong kepala”.

Di abad pertengahan Eropa, hukuman pancung dilakukan algojo dengan menebaskan pedang ke leher. Di Prancis, sampai dengan abad ke-18, hukuman pancung diterapkan raja-raja monarki absolut dengan menggunakan mesin pembunuh ”guillotine” yang bisa memotong leher dengan sekali tebas.

Guillotine menjadi mesin pembunuh yang paling efektif dan mengerikan yang menjadi simbol kekerasan berdarah selama Revolusi Prancis 1789. Ribuan orang menjadi korban potong kepala selama revolusi yang berlangsung sepuluh tahun. Raja Louis XVI dan istrinya, Marie Antoinette,  yang dikenal korup dan zalim mati dihukum potong leher dengan guillotine.

Tapi, para aktivis revolusioner mempunyai dalil yang mengatakan bahwa revolusi akan memakan anaknya sendiri. Mereka yang menjadi inisiator revolusi berdarah akan menjadi korban kekerasan revolusi. Itulah yang dialami oleh Robespiere, salah seorang tokoh utama Revolusi Prancis, yang akhirnya harus mengalami nasib tragis mati dipancung guillotine.

Narasi potong kepala yang mengerikan itu sekarang disuarakan Jenderal Listyo Sigit, bukan dalam konteks revolusi fisik seperti Revolusi Prancis, tapi dalam konteks revolusi mental di kalangan kepolisian. Kapolri rupanya gerah oleh serangkaian ulah indisipliner anak buahnya yang beberapa pekan terakhir ini menjadi viral nasional.

Kasus polisi yang melakukan bantingan smackdown terhadap mahasiswa yang melakukan demontrasi di Tangerang menjadi sorotan nasional. Polisi menjadi sasaran kecaman luas secara nasional karena dianggap tidak profesional dalam menangani kasus demonstrasi.

Seorang Kapolsek di Sulawesi Selatan melakukan pencabulan seksual terhadap seorang wanita yang ayahnya menjadi tersangka sebuah kasus pidana. Sang Kapolsek meminta layanan seksual dari si wanita dengan janji membebaskan ayahnya dari jeratan pidana.

Episode keji lainnya terjadi di sebuah polsek di Deli Serdang. Seorang wanita istri tersangka kasus narkoba dihamili beberapa oknum polisi di polsek tempat suami si wanita ditahan. Bukan hanya satu polisi yang diduga terlibat, tapi beberapa orang sekaligus.

Di Kalimantan Utara, seorang Kapolres memamerkan keterampilan smackdown terhadap anak buahnya. Pada suatu acara, sang Kapolres menghampiri anak buahnya, dan tanpa ba-bi-bu sang Kapolres melayangkan tendangan keras ala tarung bebas UFC. Setelah itu, disusul dengan tendangan dan satu kali pukulan yang membuat sang anak buah terjengkang KO.

Pantas saja Kapolri Jenderal Sigit gerah dibuatnya. Beberapa hari belakangan ini institusinya menjadi sorotan tajam. Malah ada yang mengatakan bahwa Polri tengah menjadi korban sabotase politik. Posisi Sigit yang menjadi confidante, ’orang kepercayaan’, Presiden Jokowi, tengah digoyang.

Jenderal Sigit tidak tinggal diam. Ia langsung mengeluarkan pernyataan tegas dengan ancaman potong kepala. Siapa pun yang tidak bisa menjadi teladan bagi anak buahnya akan menghadapi risiko potong kepala. Kalau kepala tidak bisa membersihkan ekornya, kepala akan dipotong.

Adagium jadul Lord Acton mengatakan bahwa kekuasaan akan cenderung menjadi korup. Makin besar kekuasaan, makin besar korupsinya. Makin mutlak kekuasaan, makin mutlak korupsinya. Polri sekarang menjadi institusi yang powerful, dan karena itu kecenderungan korupsi di instutusi tersebut makin besar.

Tindakan korupsi bukan sekadar menilap uang atau mengentit anggaran negara. Definisi itu terlalu sempit karena tindak korupsi hanya terbatas pada kecurangan yang melibatkan kerugian keuangan negara secara materiil. Terdapat kerugian negara adalah kata kunci indikator korupsi. Kalau tidak ada kerugian negara, berarti tidak ada korupsi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: