Hakim Salah Baca, Stephanus Masuk Penjara

Hakim Salah Baca, Stephanus Masuk Penjara

MUKA Stephanus Setyabudi langsung berubah. Itu setelah ia mendengar penetapan dari majelis hakim. Hakim Suparno yang memimpin persidangan memutuskan terdakwa ditahan di rutan. Padahal, sejak dari kepolisian hingga di kejaksaan, ia berstatus tahanan rumah.

Stephanus pun pasrah saat mendengarkan putusan hakim. Penetapan itu diberikan setelah jaksa penuntut umum (JPU) I Gede Willy Pramana membacakan dakwaan. Terdakwa terjerat pasal 8 ayat (1) huruf f jo pasal 62 ayat (1) Undang-Undang (UU) 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Setelah persidangan, Stephanus langsung dibawa ke ruang saksi Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Untuk persiapan eksekusi. Di dalam, ia ditemani penasihat hukumnya. JPU Willy juga terlihat menjaga.

Selang berapa menit kemudian, mobil penjemput tahanan datang. Terdakwa langsung dinaikkan ke mobil tersebut. Tangannya diborgol. Dalam perjalanan ke mobil tahanan, Stephanus didampingi beberapa petugas kejaksaan. Juga, provos kepolisian yang berjaga di PN Surabaya.

Setelah mobil tahanan berjalan, diketahui bahwa hakim salah baca penetapan. Seharusnya, Stephanus tetap menjalani tahanan rumah. Bukan tahanan rutan. Tapi, apa boleh buat. Hakim sebagai wakil Tuhan di Bumi sudah mengeluarkan penetapan.

Kesalahan itu diketahui setelah panitera membaca kembali putusan tersebut. Saat dikonfirmasi, Willy mengatakan bahwa Stephanus tetap ditahan di rutan. Ia dititipkan di Rutan Polrestabes Surabaya. ”Tetap dilakukan penahanan,” kata Willy singkat.

Kasus tersebut ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak. Ketika perkara itu masih dalam proses pemberkasan di kejaksaan, terdakwa memang hanya tahanan rumah. Sebab, ia masih dalam perawatan. ”Saat itu ia lagi sakit. Jadi, kami tidak lakukan penahanan,” ungkapnya.

Sementara itu, penasihat hukum terdakwa tidak mau berkomentar terkait penetapan penahanan yang diberikan hakim Suparno kepada kliennya. Termasuk kesalahan hakim membaca penetapan tersebut. ”Nanti, saya masih pusing,” katanya sambil terus berjalan keluar gerbang.

Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa, Stephanus merupakan direktur PT Papan Utama Indonesia. Menjabat sejak 2008. Perusahaan itu bergerak di bidang usaha properti kondotel, ruko, dan perumahan.

Selanjutnya, pada 2009 ia mengerjakan proyek dari kondotel The Eden Kuta, Bali. Bangunannya berada di Kabupaten Badung. Masterplan sudah dibuat. Lalu, membuat izin ke dinas cipta karya di provinsi tersebut. Setelah mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB), perusahaan itu bekerja sama dengan PT Prambanan Dwipaka untuk membangun kondotel itu.

Dalam masterplan, ada tiga tipe spesifikasi kamar yang akan dibangun. Yaitu, deluxe studio seluas 30 meter persegi, executive studio seluas 45 meter persegi, dan suite room dengan luas 60 meter persegi. Dibangun di atas tanah seluas 4 ribu meter persegi.

Kamar menggunakan perhitungan luas semigross. Atau, luas area unit nett ditambah dengan luas area bersama dan dibagi secara proporsional. Pada 2010, terdakwa lalu membuat brosur dengan spesifikasi sesuai dengan masterplan.

Dengan kamar jenis deluxe studio sebanyak 254 unit, executive studio 5 unit, dan suite room 19 unit. Ternyata, saat dijual, tipe deluxe studio paling diminati pembeli. Setelah kondotel The Eden Kuta selesai dibangun, saksi Suryandaru melakukan pengukuran kembali.

Pengukuran itu dilakukan petugas pengukuran dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Badung. Hasil mengejutkan keluar. Luas kamar itu bukan 30 meter persegi. Melainkan hanya 26,06 meter persegi. Karena itu, terdakwa dilaporkan ke polisi. (Michael Fredy Yacob)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: