Meningkatkan Jumlah dan Kualitas Nakes untuk Kesejahteraan Rakyat

Meningkatkan Jumlah dan Kualitas  Nakes untuk Kesejahteraan Rakyat

Oleh: Radian Jadid*

TANGGAL 12 November 2021 diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN). Tahun ini HKN mengusung tema Sehat Negeriku, Tumbuh Indonesiaku. Di tengah terpaan pandemi Covid-19 yang belum usai, masalah kesehatan menjadi topik utama dalam kehidupan berbangsa dewasa ini.

Covid-19 telah memorak-porandakan berbagai sendi kehidupan. Puncak serangan pada Desember 2020–Januari 2021 dan Juni–Juli 2021 telah menyadarkan kembali berbagai pihak untuk peduli dan memperhatikan masalah kesehatan. Selain penyediaan sarana, prasarana, dan fasilitas kesehatan, permasalahan sumber daya manusia –yakni tenaga kesehatan– patut dicermati.  

Dalam Kepmenkokesra No 54 Tahun 2013 disebutkan, setidaknya 13 formasi tenaga kesehatan dibutuhkan dalam layanan kesehatan di Indonesia. Mereka, antara lain, dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, perawat gigi, apoteker, SKM, sanitarian, ahli gizi, keterapian fisik, dan keterapian medis.

Ada beberapa masalah yang muncul terkait tenaga kesehatan tersebut. Yaitu, jumlah yang masih terbatas dan sebaran yang belum merata. Sebagai contoh, rasio dokter umum dan penduduk Indonesia masih di angka 1:1.400 (IDI, 2020). Artinya, 1 dokter melayani 1.400 penduduk.


Perbandingan itu masih jauh dari ketentuan WHO yang menyatakan idealnya rasio dokter umum dibandingkan dengan jumlah penduduk adalah 1:1.000. Pun demikian dengan dokter spesialis.

Data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Paru (PDPI) pada 2020, rasio dokter paru dibanding penduduk adalah 1:100.000. Padahal, idealnya rasio dokter spesialis 2:100.000 penduduk.

Demikian halnya dengan rasio tenaga kesehatan lainnya. Persebaran dokter juga tidak merata di seluruh wilayah di Indonesia. Sebab, dokter masih banyak dan terpusat di Jawa dan kota besar luar Jawa lainnya.

Jumlah tempat pendidikan para tenaga kesehatan juga masih kurang dan berbiaya mahal. Untuk pendidikan dokter saja, baru ada 89 fakutas kedokteran, terdiri atas 38 PTN dan 51 PTS serta yang terakreditasi A baru 22.

Mereka yang sudah menjalani pendidikan kesehatan dan dinyatakan lulus pun tidak serta-merta bisa langsung bertugas. Mereka harus mengurus izin praktik dan keprofesian yang prosesnya juga tidak mudah.

Memang dalam Kepmenkokesra No 54 tahun 2013 juga telah dibuat Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011–2025 sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan. Namun, perlu pula dilakukan terobosan guna menjawab tantangan dan kebutuhan tenaga kesehatan saat ini.

Pemerintah harus memberikan prioritas bagi institusi pendidikan kesehatan. Sudah saatnya dibuka wacana untuk memperbanyak jumlah dan penggratisan pendidikan kedokteran, khusunya di PTN. Ketetapan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20 persen seharusnya bisa dialokasikan untuk pembebasan biaya bagi para calon dokter.

Harapannya, kesempatan untuk menempuh pendidikan dokter bagi semua lapisan masyarakat menjadi lebih besar. Dengan memperbanyak fakultas kedokteran dan meningkatkan kapasitas atau daya tampungnya, diharapkan pasokan calon tenaga kesehatan makin besar sehingga rasio ketercukupan layanan bagi penduduk kian mendekati ideal.

Jalur penerimaan mahasiswa melalui afirmasi daerah juga bisa ditingkatkan sehingga saat mereka selesai menjalani pendidikan bisa kembali ke daerahnya untuk mengabdi dan memenuhi sebaran dan pasokan tenaga kesehatan setempat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: