Warung untuk Latihan Bermasyarakat bagi Penyandang Disabilitas
Laboratorium Kedaibilitas, Jalan Sampoerna No 17, itu ibarat dapur. Di sanalah, pemilik laboratorium, Andi Fuad Rachmadi, menggodok ide bersama para penyandang disabilitas. Ide tersebut dikreasikan hingga matang. Lalu produknya dijajakan di Warung Kedaibilitas, Jalan Ambengan No 95, setiap hari.
TIGA orang terlihat mondar-mandir di Warung Kedaibilitas. Di tengah ruangan ada Gunawan Yudhi, salah satu peserta didik di laboratorium. Ia sedang menata kursi dan meja makan. Sambil sesekali mengelap. Di belakang, Andi sibuk menyiapkan perlengkapan dapur. Dan di depan ada istrinya, Dewi Kartika Sari, sedang menata bagian etalase warung.
“Hari ini yang sif Gunawan Yudhi itu, Mas,” ungkap Andi yang sedang sibuk di dapur sambil menunjuk pria berkaus merah itu. Ya, mulai jam 4 sore mereka menyiapkan untuk membuka warung. Setelah seluruh ruangan tertata rapi, Andi menuju ke muka warung. Ia memanggil Yudhi.
Brifing dimulai. Andi memberikan arahan kepada Yudhi. Semacam prosedur operasional standar untuk pramusaji. Sebab, Yudhi baru kali ketiga ini menjadi pramusaji. Jadi, masih perlu arahan-arahan. Misalnya, bagaimana menata sikap dan gestur saat pelanggan datang.
“Nanti ditanya dulu. Mau makan di sini atau dibawa pulang? Kalau makan di sini, persilakan duduk di dalam. Kalau mau bungkus, persilakan duduk di depan,” kata Andi kepada Yudhi sambil memeragakan sikap tangan namaste. Yudhi hanya mengangguk-anggukkan kepala sembari ikut menelungkupkan tangannya.
Ternyata, usia warung itu masih seminggu. Sehingga masih perlu banyak persiapan. Termasuk anak-anak peserta didik Laboratorium Kedaibilitas. Mereka mendapat jatah berjaga secara giliran tiap hari.
Bangunan mungil berdesain industrial itu sebelumnya merupakan warung kopi. Milik kawan Andi. Namun, tutup permanen karena sepi pembeli. Akhirnya, Andi menyewanya untuk dijadikan Warung Kedaibilitas.
Berapa biaya sewanya? “Kami disuruh menempati dulu. Karena teman saya itu tahu kalau mau saya jadikan warung untuk anak-anak penyandang disabilitas ini. Jadi, bismillah, lah,” jelas Andi.
Keputusannya untuk membuka warung itu punya beberapa maksud. Pertama, untuk mengembangkan kemampuan kerja dan wirausaha para penyandang disabilitas. Sebab, mereka bisa berlatih untuk berhadapan langsung dengan konsumen.
Kedua, untuk mengedukasi masyarakat. Perjuangan menghapus stigma miring tentang para penyandang disabilitas. Bahwa mereka sesungguhnya mampu bekerja secara setara di berbagai bidang pekerjaan.
“Karena itu, di sini jual nasi babat juga,” terang Andi lantas terkekeh. Menurutnya, nasi babat merupakan salah satu makanan favorit banyak orang. Sehingga itu bisa menjadi daya tarik orang-orang untuk berkunjung Warung Kedaibilitas.
Diskusi Andi Fuad Rachmadi (kanan) bersama anak didiknya sebelum membuka warung.
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)
Nah, kata Andi, para pembeli yang kali pertama datang ke sana seringkali kaget. Bahwa ternyata yang dikunjungi bukan warung biasa. Tetapi, warung yang pekerjanya ada seorang penyandang disabilitas. Sebagaimana banner yang terpampang di muka warung: Basecamp Solitaris (Solidaritas Disabilitas Mandiri Surabaya).
Ada kejadian lucu tentang seorang pembeli yang baru kali pertama datang. Saat ia duduk menunggu pesanan, ia dipelototi dari jauh oleh seorang remaja. Si pembeli mulai takut. Si remaja yang duduk di bagian belakang warung itu pun makin menjadi-jadi: menembaki si pembeli dengan tangan kosongnya.
Ternyata seorang remaja itu tadi adalah Ridho. Salah seorang peserta didik Laboratorium Kedaibilitas yang menyandang autisme. “Lalu, saya samperin dan kasih penjelasan. Itu kesempatan kami mengedukasi masyarakat. Bahwa para penyandang disabilitas itu tidak semenyeramkan yang mereka bayangkan,” jelas Andi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: