Reposisi MUI

Reposisi MUI

Harian Disway - MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) berduka. Salah seorang anggota pengurusnya ditangkap Densus 88  Polri: Ahmad Zain. Ia diduga terlibat dalam organisasi yang mendalangi terorisme.

Kesusupan? Bisa jadi demikian. Lembaga forum pemimpin Islam itu kemasukan tokoh Islam yang diduga berpaham ultrakanan. Yang berpeluang memasukkan produk fatwa yang terlalu kanan juga.

Tentu hal tersebut tak diinginkan arus utama Islam di bangsa kita. Yang ketika mendirikan republik ini telah sepakat mengambil jalan tengah. Tak menjadikan negeri ini negara Islam. Meski, umat Islam telah sangat berperan dalam proses kemerdekaan.

Jalan tengah jadi pilihan bagi persatuan dan kesatuan. Sebagai bangsa Indonesia yang majemuk. Dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya. Tidak kanan dan tidak kiri. Karena itu, ketika ada upaya menarik ke terlalu kiri dengan PKI juga dihadang.

Untung, bangsa ini punya NU dan Muhammadiyah. Organisasi Islam yang telah mengakar. Yang telah membuktikan sebagai benteng negara dari tarikan para pemecah belah. Yang telah merawat umat sepanjang sejarah.

MUI sebetulnya organisasi bentukan yang baru jika dibandingkan dengan keduanya. Ia menjadi bagian dari politik kooptasi Presiden Soeharto. Menjadi alat politik untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. Dalam pemerintahannya selama 32 tahun.

Karena itulah, orang yang tahu sejarah pembentukan MUI zaman itu ingin membubarkan. Misalnya, almarhum Gus Dur alias Abdurrahman Wahid. Tapi, usulan itu pun tak terwujud. Bahkan ketika Gus Dur menjadi presiden Republik Indonesia.

Seiring dengan reformasi politik 1998, peran dan fungsi MUI juga telah berubah. Ia tidak lagi sebagai lembaga kooptasi pemerintah terhadap kelompok agama. Namun, lebih sebagai mitra dan forum silaturahmi para tokoh agama dari berbagai ormas keagamaan.

Ia menjadi semacam instrumen yang menjadi ajang untuk membangun konsensus baru dalam menghadapi dunia yang terus berubah. Menjadi agregat dari kelompok-kelompok Islam dalam bernegara di bawah payung NKRI.

Dalam negara kesatuan yang telah diikat dengan konsensus para pendiri bangsanya, semua pihak memang harus menjaga. Bagaimana agar bangsa ini tetap berada pada jalurnya. Negara mayoritas berpenduduk muslim yang telah sepakat dengan NKRI.

Setiap ada pihak yang menarik terlalu kanan, meski masih tanda-tanda, harus ada upaya untuk menghadangnya. Juga, saat ada yang hendak menarik terlalu kiri. Jalan tengah perlu menjadi komitmen bersama semua pihak yang mencintai negeri ini.

Dalam kaitan itu, sudah tidak relevan lagi menciptakan kesan polarisasi antara nasionalis dan agama. Sebab, kelompok beragama pun sudah mendeklarasikan diri sebagai nasionalis sejak negeri ini berdiri.

Bahwa masih ada upaya menarik-narik negeri ini ke paham yang terlalu kanan, itu bukan fiksi. Buktinya, masih ada yang berpikir tentang perlunya bentuk negara khilafah pada derajat tertinggi sampai NKRI syariah pada derajat yang lebih rendah.

Karena itu, sebagai lembaga yang mewadahi kepemimpinan umat Islam, tantangannya bukan hanya peradaban sekuler seperti yang dengan tegas diungkapkan dalam wawasan MUI. Tapi, juga paham populisme agama yang sedang marak di dunia belakangan ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: